REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Insiden rasialisme dalam sepak bola Eropa seolah tak ada habisnya. Komisi Regulator Independen FA Inggris memberikan hukuman kepada kiper Leeds United, Kiko Casilla, larangan bertanding selama delapan pertandingan. Hukuman itu karena tindakan rasialisme Casilla terhadap striker Jonathan Leko dalam pertandingan September tahun lalu.
FA sebenarnya mengajukan hukuman selama 10 pertandingan untuk Casilla. Namun, panel independen yang terdiri dri Graeme McPherson QC, Marvin Robinson dan Stuart Ripley, mengurangi sanksi jadi delapan laga.
Kiper asal Spanyol itu melontarkan kata-kata yang menghina Leko dengan nada rasialis, setelah meninju bola saat ingin menghalau sepak pojok.
Walaupun, panel independen maupun FA mengerti jika mantan kiper Real Madrid memiliki kemampuan bahasa Inggris yang minim, namun itu tak membuat Casilla lolos dari jeratan hukum.
Versi Leko malah lebih buruk lagi, dikuatkan pemain Charlton Macauley Bonne. Saksi lainnya adalah mantan pemain Leeds, yang kini kembali ke Arsenal, Eddie Nketiah, melihat Casilla dan Leko terlibat saling dorong, namun tak mendengar secara jelas. ''Saya hanya ingin mendengar kata-kata sumpah serapah saat tendangan corner dilakukan,'' ucap Nketiah, dikutip dari the Guardian, Rabu (4/3).
Charlton Athletic mengutuk serangan terhadap Leko dan Bonne di media sosial, dan memuji keberanian mereka dalam melawan rasialisme. Karena itu, Charlton senang ada penyelesaian yang jelas dari masalah ini. Menurut klub, Leko merupakan korban dan tak layak diserang di media sosial. ''Klub bangga dengan mereka yang berdiri tegak agar sepak bola melawan rasialisme,'' tegas Charlton dalam sebuah pernyataan.
Casilla menyatakan kalau dirinya tak bersalah dan mendapat dukungan dari Leeds, yang mempertanyakan keputusan FA. Namun, FA menegaskan kalau keputusan mereka diambil berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Badan tertinggi sepak bola Inggris itu mempertahankan keputusannya menggunakan standar sipil sebagai bukti pertanggung jawaban dalam kasus ini. FA membantah argumen Leeds kalau mereka menggunakan standar kriminal yang tak masuk akal.
Masalah rasialisme dalam sepak bola Eropa memang tak pernah ada habisnya. Meski telah dibuat segala macam sanksi, baik untuk pemain, klub maupun suporter, tapi insiden memalukan tersebut terus terjadi. Pertengahan Februari lalu, striker Porto Moussa Marega, meninggalkan lapangan, karena protes mendapatkan serangan rasialisme saat berhadapan dengan Vitoria Guimaraes di Liga Primer Portugal.
Striker asal Mali itu bahkan melakukan selebrasi dalam bentuk sindirian saat mencetak gol, dengan menunjuk kulitnya kepada suporter. Reaksi itu membuat Marega mendapatkan kartu kuning dan ketika serangan terhadapnya tak berhenti, pemain berusia 28 tahun tersebut berusaha meninggalkan lapangan, sambil menunjuk jempolnya ke bawah untuk suporter. Namun pemain Porto lainnya mencoba menahan Marega untuk tidak meninggalkan lapangan.
Perlawanan lebih keras dilakukan Mario Balotelli terhadap suporter yang melakukan tindakan rasialisme. Saat mendengar teriakan berdana rasis, striker Brescia itu langsung menendang bol ke arah suporter Verona. Usai menendang bola, pemain asal Italia tersebut meninggalkan lapangan pada menit 54 dalam laga yang digelar di stadion Marc'Antonio Bentegodi, setelah nyanyian monyet yang terdengar jelas di stadion.
Rasialisme memang bukan sekadar hukuman yang tegas, tapi juga kesadaran dari semua pihak. Kiper Ajax, Andre Onana, bahkan mengklaim kalau ia tak jadi main di Italia dua tahun lalu, karena kulitnya hitam.
Kiper berusia 23 tahun itu membuktikan dirinya sebagai kiper muda berbakat di Eropa musim lalu, dan diminat dari beberapa klub besar. ''Dua tahun lalu, setelah final Liga Europa, saya bicara dengan klub di Italia yang namanya tak akan saya sebut. Kami bicara cukup cepat dan direktur olahraga bilang ke agen saya, 'kiper kulit hitam sangat sulit di sini','' ungkap Onana, dikutip dari 90min.