REPUBLIKA.CO.ID, Siklus haid bagi perempuan memberikan konsekuensi hukum dalam syariat Islam. Di antaranya terkait dengan larangan masuk masjid.
Para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dan pengikutnya tidak memberi peluang sedikitpun bagi mereka untuk memasukinya.
Imam Syafi'i dan sekian banyak ulama lain hanya membolehkan wanita haid untuk sekadar berlalu bukan menetap, sedang Imam Daud Az zahiry membolehkannya. Ini berpangkal dari pemahaman mereka atas Firman Allah dalam QS An Nisa' 43 serta penilaian mereka terhadap beberapa hadis Nabi SAW.
Ayat di atas jika diterjemahkan secara harfiah adalah, ''Wahai orang-orang beriman janganlah mendekati shalat dalam keadaan mabuk sampai kamu dapat menyadari apa yang kamu ucapkan tidak juga junub kecuali sekadar berlalu saja...''
Ada ulama yang menyisipkan kata 'tempat' antara kata 'mendekati' dan kata 'shalat' sehingga bagi mereka, ayat tersebut bermakna "Jangan mendekati tempat shalat kecuali sekadar berlalu'' dan seterusnya. Ada juga yang tidak menyisipkan kata apapun dan memahami kata 'berlalu' dalam arti "orang musafir yang tidak mendapatkan air". Sehingga ini berarti bahwa orang junub dalam keadaan musafir boleh bertayamum untuk shalat.
Ayat ini bagi mereka tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang seorang yang junub berada di dalam masjid.
Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang junub boleh duduk di dalam masjid setelah ia berwudhu. Ini tentu untuk sekadar duduk, bukan shalat.
Seperti terbaca, ayat di atas berbicara tentang yang junub yakni yang tidak suci akibat berhubungan seks atau keluar sperma, sedang yang haid tidak termasuk di dalam pengertiannya.
Namun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa haid lebih berat dari junub, sehingga kalau yang junub saja telah dilarang, tentu apalagi yang haid. Ini dikuatkan juga oleh beberapa hadis Nabi SAW, seperti yang diriwayatkan Ibnu Majah melalui Ummu Salamah bahwa Nabi menyampaikan dengan suara keras: Masjid tidak dibenarkan (untuk dikunjungi) yang haid atau junub.
Penghormatan kepada masjid menuntut kita melaksanakan tuntunan di atas. Namun kalau ada kebutuhan yang amat mendesak, maka agaknya di serambi masjid dapat dibenarkan.
Pandangan ini, "kebutuhan mendesak'' tersebut, sekaligus dikuatkan pandangan sementara ulama yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid, ditambah lagi ada yang memahami larangan ini, berlaku khusus untuk masjid Al Haram dan Masjid Nabawi, bahkan seperti tulis Asysyaukani dalam bukunya Nail AlAuthaar: Larangan ini disebabkan karena kekhawatiran terjadi sesuatu (terhadap kebersihan masjid) dari yang haid. Pendapat ini, tulisnya lebih jauh, dianut oleh (sahabat Nabi) Zaid bin Tsabit. (Lihat Nail Al Authaar Jilid I-249).