REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sampai hari ini masih menjadi kontroversi. Setahun setelah Supersemar yang diteken Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966, Putra Sang Fajar harus lengser sebagai presiden dan terisolasi secara politik.
Ada amarah luar biasa dari Soekarno di balik terbitnya Supersemar. Surat perintah yang ditujukan kepada Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto itu memberi wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Namun melalui Supersemar itulah, jalan Soeharto menjadi presiden dan berkuasa selama 32 tahun dimulai.
Peneliti senior Pusat Penelitian politik LIPI, Asvi Warman Adam, mengatakan surat perintah tersebut tidak diberikan secara sukarela, tetapi karena adanya tekanan luar biasa terhadap Soekarno. Pada 9 Maret 1966, sudah dilakukan upaya untuk membujuk Soekarno agar lengser dari kekuasaannya.
Pada hari itu, Soeharto mengutus dua pengusaha yang dekat dengan Soekarno, Hasjim Ning dan Dasaad, untuk menemui Soekarno di Istana Bogor. Keduanya diutus untuk meminta agar kekuasaan dari pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Soeharto. Namun, hal itu tidak disetujui dan Soekarno sangat marah.
Kemudian pada Jumat, 11 Maret 1966, terjadi demonstrasi yang sangat besar yang dilakukan oleh mahasiswa. Saat itu, tengah berlangsung Sidang Kabinet di Istana Merdeka, yang menjadi terakhir kalinya bagi Presiden Soekarno. Ribuan mahasiswa turun ke jalan dan bergerak ke Istana Merdeka.
Mereka membawa slogan-slogan yang berisi tuntutan yang terkenal dengan istilah Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Tuntutan itu di antaranya, bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga.
Namun, menurut Asvi, mahasiswa itu tidak bergerak sendiri. Mereka disokong oleh pasukan tak dikenal yang ikut bergerak mengelilingi Istana Merdeka, yang rupanya merupakan tentara pasukan Kostrad. Hal ini telah diakui oleh Kemal Idris, yang pada saat itu menjadi kepala Staf Kostrad.
Kemal Idris mengakui, ia diperintah oleh Soeharto dan lantas memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat/RPKAD) untuk menggerakkan pasukannya ke Istana Merdeka untuk menangkap Soebandrio. Menurut Kemal, pasukan yang digerakkan adalah dua kompi atau sekitar 80 personel.
Situasi sidang kabinet lantas menjadi kacau dan memaksa Presiden Soekarno meninggalkan istana menuju Istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Soekarno menskors rapat dan menyerahkannya kepada Leimena.
Soeharto sendiri tidak hadir dalam Sidang Kabinet dengan alasan sakit. Saat berada di Istana Bogor, Soekarno kembali didatangi oleh tiga jenderal yang memang diutus untuk membicarakan agar Soekarno memberikan surat yang memerintahkan Soeharto melakukan pengamanan.
"Surat perintah itu dikeluarkan karena Soekarno sudah ditekan luar biasa," kata Asvi, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (10/3).
Seperti dikutip dari buku berjudul Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jenderal karya A. Pambudi, disebutkan situasi yang tidak terkendali pada saat Sidang Kabinet mendorong Presiden Soekarno untuk memberi perintah khusus pemulihan keamanan dan ketertiban melalui Supersemar. Terlebih, saat tiga jenderal, yakni Brigjen Basuki Rachmat (menteri veteran), Brigjen M Jusuf (menteri perindustrian), dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud, menemui Soekarno di Bogor.
Ketiga jenderal ini lantas menyampaikan pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno. Menurut Kemal Idris dalam biografinya dan wawancaranya dengan Detak, Soeharto menulis surat kepada Bung Karno yang isinya, "Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini."
Surat itu secara tidak langsung memengaruhi Soekarno. Sebab, Soekarno paham bahwa demonstrasi mahasiswa itu terjadi juga karena dukungan Soeharto. Dengan demikian, secara tidak langsung ada nuansa ancaman mengingat keadaan genting saat itu.
Lahirnya Supersemar itu kemudian dimanfaatkan Soeharto untuk membubarkan PKI. Dalam surat bertanggal 14 Maret 1966, Soeharto juga mengeluarkan seruan pelaporan diri anggota eks PKI serta larangan bagi partai politik dan organisasi massa untuk menerima eks PKI.
Surat itu mengatasnamakan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandatoris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi. Sehingga, Bung Karno seolah menyetujui keputusan Soeharto pasca-Supersemar. Tidak berhenti di situ, pada 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan 15 menteri dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Posisi Soekarno kian lemah, terlebih saat Soeharto melakukan manuver dengan mengukuhkan Supersemar menjadi sebuah ketetapan MPRS. Pidato pertanggung jawaban Soekarno yang dikenal dengan 'Nawaksara' pada saat Sidang Umum MPRS IV di Istora Senayan pun ditolak oleh MPRS. Bahkan, gelar presiden seumur hidup dari diri Soekarno juga dicabut.