REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Otoritas Jasa keuangan (OJK) menyebut pihaknya tidak ingin mengeluarkan kebijakan secara berlebihan akibat penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG). Pasalnya, penurunan indeks juga dirasakan oleh beberapa negara lain akibat penyebaran virus corona.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi mengatakan, pihaknya tidak ingin berbeda dengan otoritas pasar modal negara lainnya. “Regulator tidak akan reaktif. Kami akan mencermati dengan melihat parameter-parameter. Misalnya, indeks 5 persen kena halt, 10 persen auto rejection,” ujarnya kepada wartawan, di Padang, Sumatra Barat, Kamis (12/3).
Menurut dia, aturan perdagangan saham dihentikan sementara atau trading halt juga pernah diterapkan pada 2013, 2015, dan 2020.
"Sejak saya di OJK, maaf kalau salah, tapi dari 2013, 2015, 2020 baru ini ada kena halting, ini seingat saya. Kita lihat penurunan IHSG dari awal tahun kan juga sudah 20 persen ya. Nanti kita lihat lagi situasinya," katanya.
Peraturan tersebut diterapkan berdasarkan surat perintah OJK bernomor S-274/PM.21/2020. OJK memerintahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan trading halt karena IHSG turun 5 persen. Peraturan tersebut berlaku mulai 11 Maret 2020 sampai dengan batas waktu yang ditetapkan OJK.
Adapun ketentuan trading halt IHSG turun 10 persen dan trading suspend turun 15 persen sebagaimana diatur dalam SK direksi BEI bernomor Kep-00366/BEI/05-2012 mengenai panduan penanganan kelangsungan perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam kondisi darurat.
Kemudian, otoritas juga telah mengeluarkan kebijakan relaksasi bagi emiten untuk bisa membeli saham yang beredar atau buyback tanpa melalui persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).
OJK pun melarang perdagangan short selling. Kebijakan lainnya adalah penghentian perdagangan selama 30 menit jika IHSG turun lebih dari 5 persen.
“Kami masih membuka peluang untuk melakukan perubahan kebijakan mengeluarkan ketentuan baru. Namun, ini akan bergantung pada kondisi pasar modal dalam negeri,” ucapnya.