Selasa 17 Mar 2020 03:21 WIB

Kisah Liga Primer yang 'Membeku' Tiga Bulan

Sekitar 57 tahun silam, Inggris dilanda musim dingin ekstrem pada 1962-1963.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Agung Sasongko
Logo Liga Primer Inggris(premierleague.com)
Foto: premierleague.com
Logo Liga Primer Inggris(premierleague.com)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA  -- Liga Premier Inggris, Divisi Championship, dan ajang Piala FA secara resmi dihentikan setidaknya hingga 4 April 2020. Keputusan tersebut diumumkan setelah rapat yang digelar pada Jumat (13/3) lalu. Situasi ini bukan pertama kalinya.

Sekitar 57 tahun silam, Inggris dilanda musim dingin ekstrem pada 1962-1963. Suhu turun ke -16 Celsius pada Januari 1963. Cuaca dingin disertai badai salju dan es memaksa ditundanya ratusan pertandingan. Pristiwa ini kemudian dikenal dengan Big Freeze. Sungai membeku dan sebagian besar lapangan hancur oleh salju yang konstan turun selama 10 hari. Musim dingin ini menjadi yang terparah di Inggris sejak 1740. Secara keseluruhan, ada 261 pertandingan yang tertunda selama tiga bulan itu. 

Di sisi lain, Leicester City memuncaki klasemen dengan lima laga tersisa dan final Piala FA. Leicester pun dijuluki Ice Kings karena hal itu. Leicester secara dramatis akhirnya gagal meraih gelar juara dari kedua kompetisi tersebut. Mantan bek the Fox, Frank McLintock, mengenang masa itu dengan sukacita. Menurut dia, kompetisi seharusnya tidak dilanjutkan. Namun, FA punya pertimbangan lain sehingga memutuskan tetap melanjutkan kompetisi.

"Rasanya aneh tetap melanjutkan kompetisi dengan kondisi seperti itu, tetapi Anda tidak bisa berbuat banyak tentang hal itu. Jadi, kami melanjutkannya," kata Frank dikutip dari the Sun, Senin (16/3).

"Asosiasi (FA) ingin kami menyelesaikan musim, sementara beberapa tim mengeluh dan menginginkan liga dibatalkan. Namun, itu tidak sedramatis itu. Kami adalah tim muda dan punya antusias tinggi untuk tetap bermain, ditambah sekitar 75 persen dari skuat dan staf kepelatihan adalah orang Skotlandia," kata dia.

Frank berkelakar situasi itu seperti fenoma alam biasa. Terlebih, markas Leicester Filbert Street memiliki kualitas lapangan yang dirawat dengan baik, berbeda dengan klub lain yang belum mampu memenuhi standar waktu itu. Artinya, Leicester tak akan kesulitan menghadapi lawan-lawannya guna merengkuh gelar Liga Primer. Motivasi tinggi mendera pungawa the Fox. Mereka berlatih di bawah guyuran salju; bukan cuaca yang kondusif untuk berlatih sepak bola. 

Alhasil, berbagai cara dilakukan untuk mengakali cuaca dingin saat itu. Gordon Banks, misalnya, terpaksa membawa dua sepatu. Kiper legendaris Inggis yang wafat 2019 lalu ini selalu menyiapkan sepasang sepatu sebagai cadangan. Ketika bermain, dia mengakalinya dengan menaruh penghangat di kaus kakinya. Sementara itu, Frank memanfaat waktu bersama keluarganya untuk mencuri waktu berlatih. 

"Saya pergi bersama anak-anak ke sebuah taman dalam kondisi cuaca dingin. Mereka melempar bola untukku sehingga saya bisa berlatih. Begitu dingin saat itu," katanya mengenang momen itu.

Beberapa tim, seperti Bolton, Liverpool, dan Everton, melalui 10 pekan tanpa bermain. Namun, tidak bagi Leicester yang tetap pergi ke lapangan untuk berlatih dan hanya menyisakan lima laga terakhir. Pahit untuk the Foxex. Everton kemudian muncul sebagai kampiun. "Kami gila sepak bola dan merasa senang karena kami memimpin klasemen. Kami memang bisa pergi berlatih, tetapi itu sama sekali bukan pengalaman yang menyenangkan," ungkap dia.

Meskipun Frank masih merasakan dinginnya cuaca saat itu, sosok yang pernah menjadi kapten Arsenal itu prihatin melihat perkembangan virus corona. "Kami masih bisa mencari tempat yang hangat, seperti Brighton, tetapi tetap saja masih merasa dingin," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement