REPUBLIKA.CO.ID, Ibadah malam adalah sunnah yang utama. Rasulullah sendiri tidak pernah melewati malam-malamnya, melainkan selalu dihiasinya dengan bertahajud. Bahkan, satu hadis meriwayatkan, apabila qiyamullail, Rasulullah melakukannya dengan penuh kesungguhan, hingga bengkak kedua tapak kakinya.
Dalam Alquran, secara eksplisit Allah SWT menegaskan umat Islam untuk bangun di tengah malam. “Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari.” (QS Al Muzzammil: 1-2).
Namun demikian, ibadah ini tergolong tidak mudah untuk diamalkan. Apalagi, jika memang niat dan upaya yang dipersiapkan untuk bisa qiamulail tidak benar-benar maksimal. Utamanya, dalam hal menjaga hati. Sebab, ternyata di antara sekian banyak penghambat seorang Muslim bisa qiyamullail satu di antaranya adalah berprasangka buruk.
Hal inilah yang dialami ulama sufi Sufyan Ats Tsauri sebagaimana termaktub dalam kitab Mi’atani Hikmah Min Hikam Ash Shahabah wa Ash Shalihin. Suatu ketika, Sufyan berkata, “Aku terhalangi untuk melakukan qiyamullail selama lima bulan karena dosa yang telah aku perbuat.” Dikatakan, “Dosa apa itu?” Ia menjawab, “Aku melihat seorang laki-laki menangis tatkala shalat, lalu aku katakan, ia adalah orang yang riya.”
Dengan demikian, satu di antara syarat utama untuk terhindar dari penghambat qiyamullail adalah tidak berprasangka buruk terhadap siapa pun, lebih-lebih terhadap mereka yang melakukan amal kebajikan.
Memastikan hati dalam kondisi bersih juga merupakan syarat yang tidak boleh disepelekan agar kita benar-benar mampu mengisi sepertiga malam kita dengan qiyamullail. Dari apa yang dialami Sufyan Ats Tsauri ini dapat diambil hikmah bahwa disunahkannya qiamulail bagi umat Islam tidak lain agar dalam sehari semalam, hati senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak perlu, apalagi haram. Dengan begitu, semangat ibadah akan dimudahkan Allah SWT.