REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak merupakan salah satu anugerah yang diberikan Allah SWT kepada umatnya. Namun, tampaknya tidak semua umat muslim menerima hadiah tersebut. Praktik aborsi hingga kini masih santer terdengar dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Dalam dunia medis, istilah aborsi berarti menggugurkan kandungan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibunya. Sementara itu dalam Bahasa Arab, aborsi disebut dengan istilah al-Ijhadh. Kata al-Ijhadh berasal dari kata ajhadha-yajhidhu yang memiliki arti 'wanita yang melahirkan anaknya secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya'. Dalam kitab al Misbah al Munir juga disebutkan bahwa aborsi dalam fikih disebut isqath (menggugurkan), ilqaa (melempar), atau tharhu (membuang).
Para ulama diketahui memiliki pendapat berbeda tentang aborsi ini. Mazhab Imam Hanafi menilai aborsi mubah atau boleh tanpa sebab atau 'udzur selagi belum ada tanda-tanda kehidupan dan usia kandungan belum mencapai usia 120 hari. Jika janin telah berusia 4 bulan, Allah SWT telah meniupkan ruh ke dalam janin tersebut.
Meski demikian, ada beberapa ulama dari mazhab ini yang menyebut aborsi makruh jika menggugurkan tanpa sebab dan udzur. Sebab-sebab udzur ini di antaranya; dikhawatirkan karena mengancam kesehatan ibu sebab penyakit yang ganas, atau dapat menyebabkan janin cacat, dan sebagainya. Sebagian ulama ini pula menyatakan mutlak hukumnya adalah mubah atau boleh jika menggugurkan kandungan karena sebab 'udzur (darurat).
Imam Maliki menilai menggugurkan kandungan adalah haram, meski usia kandungan belum mencapai 40 hari. Para ulama ini berpatokan pada QS Al-Mu'minun ayat 13 yang berisi, "Kemudian Kami menjadikannya nuthfah (setetes mani) dalam tempat berdiam yang kokoh." Tidak boleh janin dikeluarkan dari tempatnya kecuali dengan satu sebab yang syar'i.
Dalam mazhab Syafi'i, dibolehkan menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari. Namun ada pendapat lain yang menyatakan janin memiliki kehormatan sehingga apapun kondisinya tidak boleh dirusak. Sebagian imam dalam mazhab ini menilai menggugurkan kandungan diizinkan dalam dua tahapan, saat masih berupa nuthfah (setetes mani) dan 'alaqah (segumpal darah) dan sebelum ke tahapan mudhghah (segumpal daging).
Allah SWT dalam QS Al-Hajj ayat 5 berfirman, "Maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya (berbentuk) dan yang tidak sempurna..".
Segumpal daging itu pada awalnya tidak ada bentuknya. Apabila Allah SWT menghendaki untuk menyempurnakan penciptaannya, mulailah terbentuk kepala, dua tangan, dada, perut, dua paha, dua kaki, dan anggota tubuh lainnya. Namun, apabila Allah tidak menghendaki segumpal daging itu berkembang menjadi manusia, rahim pun mengeluarkannya (keguguran).
Dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari hadits Dawud ibnu Abi Hindun, dari asy-Sya'bi, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas’ud ra, beliau berkata, "Apabila nuthfah telah menetap dalam rahim, malaikat yang menjaga rahim atau janin mengambilnya dengan telapak tangannya, lalu bertanya, 'Wahai Rabbku, apakah akan disempurnakan kejadiannya atau tidak?' Kalau dijawab tidak disempurnakan kejadiannya, nuthfah tersebut tidak akan menjadi satu jiwa dan akan dikeluarkan oleh rahim dalam bentuk darah. Apabila dijawab disempurnakan kejadiannya, malaikat akan bertanya lebih lanjut, 'Wahai Rabbku, apakah jenisnya laki-laki ataukah perempuan? Apakah dia golongan yang sengsara ataukah yang bahagia? Kapan ajalnya? Apa yang diperbuatnya? Di bumi manakah dia akan meninggal?'."
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin berpandangan, ketika seorang wanita dipastikan hamil, maka tidak boleh kandungannya digugurkan kecuali karena sebab yang syar'i. Misalnya, dokter menganalisis janin tersebut memiliki cacat yang menyebabkan dia tidak bisa hidup dengan semestinya. Ketika alasan itu muncul, maka boleh dilakukan pengguguran karena adanya kebutuhan.
Meski ada perbedaan pendapat tentang hukum menggugurkan kandungan sebelum peniupan ruh, lain halnya dengan pendapat ulama tentang hukum menggugurkan kandungan setelah peniupan ruh. Para ulama menyepakati jika menggugurkan kandungan setelah ruh ditiup adalah tindakan yang haram. Ketentuan tersebut didasari oleh hadits tentang waktu peniupan ruh yaitu pada saat kandungan memasuki usia 4 bulan.
Setelah ruh ditiupkan pada bayi dalam kandungan, maka secara otomatis bayi tersebut telah hidup menjadi seorang manusia. Maka, tentu saja tindakan untuk menggugurkannya sama dengan tindakan pembunuhan yang haram untuk dilakukan jika tidak ada sebab-sebab darurat.
Syaikh Shalih Fauzan hafidahullah mengatakan apabila ruh telah ditiupkan ke dalam kandungan (janin) kemudian janin itu mati karena aborsi, maka itu salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT. Syaikh Shalih Fauzan juga menyebut pelaku aborsi harus membayar kafarat yang berupa memerdekakan seorang budak. Apabila ia tidak mendapatkan budak, penggantinya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai bentuk tobat kepada Allah.