Oleh: Muhammad Arief Budiman, PhD. Peneliti Senior di Orion Genomics, Amerika dan anggota dewan pakar IABIE (Ikatan Alumni Habibie)
Secara resmi 12 Maret kemarin Badan Kesehatan Dunia menyatakan wabah COVID-19 sebagai pandemik karena cepatnya penyebaran ke seluruh dunia sejak kasus pertama di China 31 Desember 2019 dengan angka kematian 20-30 per 1000 orang terinfeksi.
Sindrom pernapasan akut wabah SARS-CoV-2 menjadi “wake up call” yang membangunkan dari ketidaksiapan. Negara sebagai bagian dunia harus memperkuat program sains nya dan membuka kolaborasi dengan dunia internasional untuk mengetahui informasi terakhir virusnya, mengembangkan atau mendapatkan teknologi deteksi dini untuk menghadapi kemungkinan wabah penyakit di masa depan.
Dibandingkan pandemi flu 1918 atau “Spanish flu” yang memakan korban meninggal 50 juta dari sepertiga penduduk dunia yang terinfeksi (500 juta) yang tidak diketahui sumber penyakitnya, genom virus Corona bisa dipelajari dengan cepat karena majunya ilmu genomik. Genom virus sumber pandemi 1918 sendiri baru bisa disekuens nukleotidanya tahun 2005 setelah direkontruksi virus penyebabnya sehingga diketahui dahsyat virulensinya.
Sebelumnya tahun 1930 virus Influenze bisa diisolasi, membuktikan virus penyebab flu bukan bakteri, berbeda dengan yang diduga. Pencarian virus pandemi 1918 melibatkan perjuangan panjang, termasuk pengambilan sampel paru-paru korban wanita suku Inuit dinamai “Lucy”, dari sebuah kampung di Alaska yang tubuhnya awet karena beku. Keberadaan makam Lucy bermula dari informasi bahwa 76 dari 80 penduduk kampung menjadi korban pandemik.
Sekuens genom SARS-CoV-2 pertama kali diterbitkan peneliti China dalam New England Journal of Medicine 24 Januari 2020. Tanggal 7 Februari, lebih dari 80 sekuens genom SARS-CoV-2 telah diupload ke public database dan 28 Februari lebih dari 300 genom dishare melalui GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data) dan 22 Maret ada 170 genom di GenBank. Kesadaran membagi data dan harapan bantuan, memungkinkan peneliti internasional mempelajari penyebab infeksi dan mengembangkan deteksinya.
Genom acuan Coronavirus (reference) dari pasien di Wuhan berupa 1 sekuen single stranded RNA terdiri dari 29891 nucleotida (sekitar 9860 asam amino) memiliki kesamaan 96.2% dengan SARS virus kelelawar dan 79.5% dengan genom SARS-CoV manusia. Dibandingkan data virus dalam database public dan prediksi gene serta protein, disimpulkan ada 27 protein yang di coding diantaranya oleh gen S, E, M, N, ORF1a, ORF1b, ORF3a, ORF7a, atau ORF8.
Gen SARS-CoV-2 diatas berfungsi sebagai penanda deteksi keberadaan virus pada pasien yang positif terinfeksi dan peneliti berlomba kembangkan protokol deteksi cepat sehingga pasien positif terinfeksi bisa di isolasi untuk mencegah penyebaran dan mengarahkan perawatan. Di Amerika, Mammoth Biosience memakai kombinasi gen N dan E sebagai pendeteksi sedangkan grup dari MIT memakai gene S dan Orf1ab. Center for Disease Control (CDC) Amerika memakai gen N dan menyediakan deteksi untuk pasien.
Mereka menekankan bahwa protokol ini bukan untuk sampel klinis karena untuk sampel klinis diperlukan kajian panjang sebelum dijinkan. Di China, kit deteksi dikembangkan Shanghai BioGerm Medical Technology dan Da An Gene. Di tanah air, UNAIR mengembangkan deteksi SARS-CoV-2 bekerjasama dengan Kobe University di Jepang dan Litbangkes mendapatkan protocol dari CDC Amerika. Semua protokol pengujian menggunakan sistem RT-qPCR (Real Time- quantitative Polymerase Chain Reaction).
Genom virus berupa ssRNA harus dirubah menjadi potongan DNA dengan enzim reverse transcriptase , kemudian dilipatgandakan dengan primer DNA pendek yang menempel spesifik pada DNA virus dan menjadi awal perbanyakan gen. Peningkatan molekul DNA memudahkan deteksi dengan alat PCR khusus karena ada sinyal yang diukur, mewakili jumlah perbanyakan gen virus. Jika pasien positif terinfeksi maka cukup sinyal yang memfasilitasi deteksi keberadaan partikel virus dalam tubuhnya.
Strategi RT- qPCR lain yang lebih cepat berbasis teknologi CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) untuk deteksi baru saja dikembangkan oleh grup MIT yang dinamai SHERLOCK seperti detective Sherlock Homes yang menyelidiki pelaku kriminal tetapi disini kepanjangan dari Specific High-sensitivity Enzymatic Reporter unLOCKing (SHERLOCK) atau oleh Mammoth Biosciense yang disebut DNA Endonuclease-Targeted CRISPR Trans Reporter (DETECTR). CRISPR sendiri adalah teknologi untuk mengedit genom organisme.
Pada 13 Maret di Amerika, Roche, perusahaan Swiss dan Thermo Fisher, pembuat alat medis mendapatkan ijin dari FDA dalam kondisi emergensi untuk mengkomersilkan tes deteksi SARS-CoV-2 berkapasitas 2 juta kit. LabCorp, Hologic dan BD juga melakukan hal yang sama. Saat ini diperkirakan kapasitas pengujian di Amerika sekitar 22,000 tes per hari atau 2 kali kapasitas Korea. Korea Selatan bergerak lebih cepat.
Pada 16 Januari, Chun Jong-yoon, CEO dan pendiri perusahaan bioteknologi molekuler Seegene memerintahkan timnya untuk fokus pada Coronavirus. Dia mengambil inisiatif bahwa perusahaan diagnosis molekular harus menyiapkan diri meski tidak ada yang meminta padahal waktu itu wabah belum menyapu Cina dan belum ada korban di Korea Selatan.
Sebuah sikap proaktif dan langkah inisiatif yang patut ditiru oleh setiap peneliti dinegara-negara yang potensi mendapatkan wabah karena lalu lintas internasional yang semakin mudah, sebagai antisipasi terhadap ledakan wabah. Bahkan Jerman pun memesan kit deteksi dari Korea.
Menghadapi penyebaran di negara-negara yang baru mulai pandemi termasuk Indonesia sejak diumumkan pasien positif pada 2 Maret 2020, akan diperlukan cukup jumlah kit deteksi dan fasilitas pengujian dengan staf tertraining tersebar di beberapa daerah. Pemerintah perlu memastikan bahwa kit-kit deteksi yang dipakai akurat sehingga upaya pencegahan penyebaran dan perawatan bagi pasien sesuai.
Tantangan berikutnya jika pasien terkena komplikasi misalkan SARS-CoV-2 dengan Flu A atau Flu B maka tes nya harus bisa spesifik membedakan bahwa pasien ini benar terinfeksi oleh SARS-CoV-2. Seperti kasus di China bahwa pasien yang awalnya menunjukkan simptom seperti SARS CoV2, ternyata negatif setelah diuji 2 kali dengan RT-qPCR dengan reagen kit yang berbeda pada sampel dari lubang hidung (nasopharynx). Sampel dari lubang hidung diambil lagi dan diuji ke 3 kalinya dengaan RT-qPCR dan tetap negatif, tetapi tes serologi untuk Flu A positif.
Maka pasien diisolasi di rumahnya dengan obat Flu A. Seminggu kemudian pasien yang sama ke rumah sakit dengan symptom suhu tinggi dan susah bernafas, sehingga dimasukkan ICU karena Pneumonia Influenza A dan kemudian cairan parunya (BALF) diambil dan dianalisa dengan metagenomic Next Generation Sequencing (nMGS) yang menunjukkan identitas SARS-Cov-2. Deteksi ke 4 kalinya dengan RT-qPCR pada sampel sputum menunjukkan positif. Tantangan lain kedepan adalah kemungkinan terjadinya mutasi pada virus.
Langkah berikutnya adalah mengembangkan deteksi berbasis serologi seperti tes biasa Flu A dan Flu B, yang akurat dan dapat diandalkan dalam waktu singkat sehingga memudahkan staf medis seperti yang dilakukan Duke-NUS Medical School di Singapore, Innovita di China, dan 20/20 BioResponse di Amerika untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau protein yang spesifik diproduksi tubuh pasien karena infeksi.
Usaha ini perlu dilakukan karena deteksi DNA molekuler berbasis RT-qPCR lebih kompleks dan memerlukan staf lab yang bisa menangani dengan baik, kecuali ditemukannya tes alternatif molekular yang lebih cepat dan mudah.
Jangka menengah dan panjangnya adalah mengembangkan vaksin untuk pencegahan terhadap SARS-CoV-2. Amerika dan China mengklaim sudah mulai mengembangkan dan melakukan uji coba pada manusia tetapi perlu waktu untuk memastikan efikasinya. Meskipun demikian, langkah yang patut diapresiasi.
Belajar dari Cuba yang berhasil membuat vaksin meningokokus serogrup B dan C (VA-MENGOC-BC) yang pertama didunia karena tidak adanya vaksin yang terbukti mampu meredam penyakit meningitis serogrup B di negaranya, Biopharma sebagai BUMN yang memproduksi 12 vaksin untuk kebutuhan imunisasi dalam dan luar negeri, perlu mengevaluasi kemungkinan membuat vaksin untuk SARS-CoV-2 sebagai antisipasi.