REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa ini terjadi beberapa waktu setelah pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah) oleh kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah Muhammad SAW. Suatu ketika, seorang perempuan dari Bani Makzhum tertangkap basah sedang mencuri. Mengetahui kejadian itu, para tokoh kabilah tersebut kemudian saling bersepakat akan membela si pencuri itu. Mereka merasa, kehormatan suku sedang dipertaruhkan. Bani Makzhum sendiri termasuk dalam tiga kabilah yang paling kaya dan disegani di seluruh Makkah.
Mereka lantas mendatangi seorang sahabat Nabi SAW, Usamah bin Zaid. Mereka ingin agar diperantarai untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Dalam benak mereka, Nabi SAW memiliki otoritas untuk meringankan hukuman atas perempuan Bani Makzhum tersebut.
Usamah pun menyanggupinya. Maka, menghadaplah ia kepada Nabi SAW. Sesudah mendengarkan penuturan sahabatnya itu, Rasulullah SAW naik ke atas mimbar untuk berpidato.
Usai mengucapkan puja dan puji ke hadirat Allah SWT, Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesannya kepada khalayak.
“Sesungguhnya kebinasaan orang sebelum kalian adalah akibat mereka tidak mau menindak tegas kalangan terhormat di antara mereka yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah yang mencuri."
Beliau meneruskan, "Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya!”
Maka, mengertilah Usamah bin Zaid dan para tokoh Bani Makzhum tersebut. Tidak ada keringanan hukuman hanya karena pelaku pencurian berasal dari kalangan tersohor. Setelah itu, perempuan pencuri tadi dihukum sebagaimana mestinya.
Kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut jelas-jelas menekankan aspek keadilan Islam dalam penegakan hukum. Tidak boleh hukum bagaikan pedang: tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.