REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyampaikan, pemerintah tidak ada rencana sama sekali untuk memberlakukan Darurat Sipil dalam konteks penanganan Covid-19 saat ini. Peraturan itu baru akan diberlakukan jika memang situasi dan keadaan di tengah masyarakat semakin memburuk.
"Pemerintah juga sama sekali tidak merencanakan untuk memberlakukan Darurat Sipil dalam konteks Covid-19," ujar Mahfud melalui rekaman video yang Republika terima, Rabu (1/4).
Mahfud menjelaskan, ketentuan Darurat Sipil itu terdapat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 tahun 1959. Di dalam peraturan tersebut disebutkan, pemerintah dapat menyatakan negara dalam status darurat sipil.
"Peraturan itu sudah stand by, tapi hanya diberlakukan nanti kalau diperlukan, kalau keadaan ini menghendaki Darurat Sipil baru itu diberlakukan," jelas dia.
Menurutnya, untuk penanganan Covid-19 saat ini hal tersebut tidak diperlukan. Kecuali, kata dia, situasi dan keadaan semakin memburuk hingga di level amat buruk dan aturan tersebut diperlukan untuk diberlakukan, maka barulah akan digunakan.
"Kecuali perkembangan keadaan menjadi lebih sangat buruk dan menghendaki itu. Baru itu nanti dihidupkan, digunakan karena memang UU itu sudah hidup sejak tahun 59 sampai sekarang," tutur dia.
Di sisi lain, Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, menilai pasal-pasal di dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 yang mengatur Darurat Sipil tak relevan dengan situasi saat ini. Pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.
"Tidak relevan dengan upaya untuk melawan merebaknya wabah virus corona. Pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang," jelas Yusril melalui keterangan tertulisnya, Selasa (31/3).
Ia menyebutkan, satu-satunya pasal yang relevan dalam Perppu tersebut dalam situasi saat ini ialah pasal yang berkaitan dengan kewenangan Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan-ketentuan lain hanya relevan dengan situasi pemberontakan dan kerusuhan, seperti melakukan razia dan penggeledahan.
"Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan juga tidak relevan," terangnya.
Yusril juga menyebutkan, di dalam Perppu tersebut, keramaian-keramaian masih diperbolehkan sepanjang memiliki izin dari Penguasa Darurat Sipil. Bahkan, terdapat pasal yang kontraproduktif karena Penguasa Darurat Sipil tidak bisa melarang orang berkumpul untuk melakukan kegiatan keagamaan, termasuk pengajian.
"Penguasa Darurat tidak bisa melarang orang berkumpul untuk melakukan kegiatan keagamaan termasuk pengajian-pengajian. Aturan-aturan seperti ini tidak relevan untuk menghadapi wabah corona," jelas dia.
Selain itu, Yusril menyampaikan, Darurat Sipil terkesan represif. Dalam situasi tersebut, militer memainkan peran yang sangat penting untuk mengendalikan keadaan. Menurut dia, yang dibutuhkan saat ini ialah ketegasan dan persiapan matang dalam melawan wabah untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Karena itu, pemerintah harus berpikir ulang dalam mewacanakan Darurat Sipil.
"Keadaan memang sulit, tapi kita, terutama para pemimpin jangan sampai kehilangan kejernihan berpikir menghadapi situasi. Tetaplah tegar dan jernih dalam merumuskan kebijakan dan mengambil langkah serta tindakan," katanya.