Kamis 02 Apr 2020 00:08 WIB

Corona dan Cara Beragama Kita

Cendekiawan lebih mengedepankan keselamatan jiwa.

Nashih Nasrullah
Nashih Nasrullah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nashih Nashrullah*)

Saya masih belum bisa mencerna hingga detik ini, saat pandemi Corona melanda hampir separuh dunia, bagaimana masih terjadi kerumunan di manapun, baik di tempat umum seperti kafe, atau rumah ibadah sekalipun. Entah itu masjid, gereja, pura, wihara, dan lain sebagainya. Di Indonesia setidaknya ada dua perhelatan besar yang menjadi bahan perbincangan. Yang pertama Ijtima Dunia Jamaah Tabligh di Gowwa, Sulawesi Selatan dan Pentahbisan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Alhamdulillah kegiatan pertama akhirnya dibatalkan setelah melalui negoisasi secara maraton. Namun tidak dengan yang kedua.

Belum lama kita dipusingkan dengan kedua acara itu, miris mendengar kabar jika 300 anggota jamaah Tabligh di Masjid Kebon Jeruk, Jakarta Barat, terpaksa harus dikarantina dalam masjid karena terdapat salah satu peserta yang hadir positif Covid-19. Cerita tentang aktivitas keagamaan massal ini ternyata tak hanya berseliweran di Tanah Air. Kisah yang sama juga banyak bertebaran di luar negeri. Belum lama ini, 200 anggota Jamaah Tabligh di Hyderabad India dikarantina mandiri di sebuah Masjid setelah salah satu jamaahnya positif terinfeksi Corona.

Pandemi Corona merupakan kejadian luar biasa. Penyikapannya pun demikian, tak boleh biasa-biasa saja. Membaca konstruksi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No 14 Tahun 2020, tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 memberikan indikator kuat, betapa beragama itu fleksibel, tidak kaku. Lebih mendahulukan menghindari petaka, daripada mendatangkan manfaat/ maslahat.

Petaka dalam kaedah tersebut bisa dimaknai dengan pandemi Covid-19, sementara manfaat atau maslahatnya adalah ibadah berjamaah mulai dari shalat hingga aktivitas taklim. Fatwa tersebut sama sekali bukan meniadakan sepenuhnya, tetapi disesuaikan dengan partikel-partikel terpenuhinya fatwa tersebut.     

Kesimpulan senada saat membaca pula Imbauan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terkait ibadah selama pandemik Corona. Ada kesamaan konklusi tentang pentingnya mengutamakan keselamatan jiwa dibanding pelaksanaan tuntunan agama dari yang wajib hingga sunat dalam konteks situasi dan kondisi merebaknya wabah mematikan.

Kaedah tentang menyelamatkan jiwa dari petaka ini, bukan berarti agama tiada guna. Justru agamalah yang mendasari ethic dan nilai untuk pengambilan setiap keputusan umat manusia. Agama dalam pandangan  Muhammad Abdullah Darraz dalam Ad-Din; Durus Muhammadah li Dirasat Tarik al-Adyan, agama adalah dasar. Fondasi dalam setiap perilaku dan tindakan yang mengarah kepada terwujudnya kebaikan umat manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus sosal. Ya dalam titik ini, agama sangatlah vital. Sementara pada aspek akidah, agama adalah media utama mengantarkan kepada kesuksesan akhirat.

Agama memberikan guidance dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi darurat. Tuntunan yang semula wajib atau larangan yang sifatnya mengikat, bisa berubah menjadi boleh karena darurat. Al-Dharar yuza atau la dharar wala dhirar adalah prinsip dalam beragama yang ditawarkan Islam agar tidak bertentangan dengan agama itu sendiri. Tentu kaitannya dengan situasi dan kondisi darurat.

Inilah mengapa, sebagian cendekiawan lebih mengedepankan menjaga keselamatan jiwa (hifzh an-nafs) dan menempatkannya pada urutan pertama dharuriyat al-khams (lima pokok subtansi ajaran agama) ketimbang menjaga maslahat agama (hifhz ad-din) di antaranya Imam Ar-Razi sebagaimana tertuang dalam dalam karyanya bertajuk Al-Mahshul fi Ilm al-Ushul).

Dengan demikian, ketika seorang Muslim berada dalam situasi tertentu yang mengharuskan dia memilih antara dua opsi apakah harus mempertahankan perintah/larangan agama atau menyelamatkan nyawa, yang didahulukan adalah keselamatan jiwa. Kita, misalnya, diperbolehkan memakan daging haram saat kondisi darurat di hutan atau krisis pangan.

Padahal sudah jelas Allah SWT melarang hamba-Nya mengonsumsi apapun yang haram. Kita juga, misalnya diperbolehkan berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil atau mandi guna bersuci dari hadas besar dengan bertayamum, bila penggunaan air dinilai bisa membahayakan keselamatan jiwa.

Tak hanya urusan ibadah, kaedah ini juga menyentuh akidah. Seorang Muslim boleh ‘bertaqiyyah’ menyembunyikan keimanannya demi menyelamatkan keimanannya. Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna dari surah Ali Imran ayat 28: “…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka..” Ketika Muslim berada dalam ancaman dan menuntut dia harus menyembunyikan keimanannya, maka yang demikian diperbolehkan selama sebatas pengakuan pada lahiriyah saja, tak melampaui batas keimanan dan niat sesungguhnya. Ibnu Katsir lantas menukilkan riwayat dari Ibnu ad-Darda’ bahwa ada sebagian sahabat yang tampak manis di hadapan orang-orang kafir yang membenci dan kerap menyakiti mereka, tetapi pada dasarnya, hati para sahabat Rasulullah SAW tersebut mengecam perilaku dan keyakinan orang kafir tersebut.     

Jadi, tak lagi saatnya lagi jumawa dengan koar-koar tak perlu menaati imbauan pemerintah tentang pentingnya beraktivitas dan atau beribadah di rumah dengan alasan “Ini perintah agama, ini sunnah agama, ini ajaran agama beribadah atau taklim berjamaah.” Sebab, jika ternyata, naudzubillah, diri kita terjangkit ini yang justru bertentangan dengan ajaran dan subtansi luhur agama itu sendiri.

Jika diri manusia tak lagi sehat dan bahkan tak bernyawa, dalam pandangan Imam Ar-Razi, lantas bagaimana segenap hukum Allah SWT bisa teraplikasikan oleh yang bersangkutan. Kita sedang tidak berbicara tentang takdir, tapi berbicara bagaimana agama mengajarkan kita menjaga pemberian berharga dari Sang Pencipta, yaitu nyawa. Bila hal sesederhana ini kita gagal memahami, tampaknya ada hal yang keliru dalam beragama  kita. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement