REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini Menteri Agama (Menag) menyatakan pihaknya sedang mengkaji wacana pengalihan dana haji untuk penanganan wabah Covid-19. Terkait hal itu, Ustadz Abdul Somad (UAS) memberikan tanggapan.
Pertama-tama, UAS menerangkan bagaimana Islam memandang persoalan harta. Agama ini membedakan antara harta umum (al-mal al-'am) dan harta khusus (al-mal al-khash).
Suatu harta umum disebut pula sebagai harta milik orang banyak atau masyarakat. Selanjutnya, masyarakat memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mengatur harta umum itu.
"Orang-orang ini disebut ulilamri atau pemerintah. Pemerintah diberi amanat kuasa oleh masyarakat untuk mengatur harta itu demi kepentingan bersama," kata UAS saat berbincang dengan Republika, Jumat (10/4).
Adapun harta khusus adalah milik pribadi atau orang per orang. Harta jenis ini, UAS menegaskan, tidak dapat diintervensi oleh siapa pun di luar si pemiliknya.
"Harta ini bisa berpindah tangan ke orang lain melalui akad, misalnya, akad jual-beli, pinjaman, gadai, hibah, wasiat, zakat, infak/sedekah," ucap alumnus Universitas al-Azhar (Mesir) itu.
Dana haji termasuk harta khusus, bukan harta umum, meskipun dana tersebut saat ini sedang dititipkan kepada negara. "Contoh, Rp 40 juta uang Saudara untuk berangkat haji itu adalah tergolong nomor dua, al-mal al-khas, harta khusus, pribadi. Ketika Saudara menyetorkan ONH (ongkos naik haji) ke bank untuk berangkat haji, akadnya adalah jual-beli barang dan jasa, yakni terkait visa, tiket pesawat, hotel, bus, konsumsi, dan lain-lain," kata dia.
"Maka, negara tidak ada hak mengalihkannya ke urusan yang lain. Semua yang berani menggunakan dana haji untuk kepentingan yang lain maka bertanggung jawab di hadapan Allah," kata UAS menegaskan.
Ia pun mengingatkan, setiap jabatan di dunia hanyalah sementara. Urusan akhirat jauh lebih penting karena ujungnya hanya ada dua: surga atau neraka.
"Jabatan di dunia itu sebentar, tapi hisabnya lama di akhirat. Wallahu a'lam."