Sabtu 11 Apr 2020 18:32 WIB

Khitan dalam Catatan Sejarah

Menurut sejarah, khitan juga dikenal dalam tradisi kuno.

Khitan dalam Catatan Sejarah (Ilustrasi). FOTO: Khitan Massal. Sejumlah anak mengikuti khitan massal di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Iman, Bekasi Barat, Ahad (22/12).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Khitan dalam Catatan Sejarah (Ilustrasi). FOTO: Khitan Massal. Sejumlah anak mengikuti khitan massal di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Iman, Bekasi Barat, Ahad (22/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam menaruh perhatian yang besar terhadap keindahan dan kebersihan. Sebab, bersih berarti sehat, dan rapi itu berarti indah.

Islam tidak menyukai segala keburukan dan kekumuhan. Oleh karena itu, dalam banyak hal, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa membersihkan diri.

Baca Juga

Salah satu ajaran yang disyariatkan Islam kepada pemeluknya adalah berkhitan. Khitan atau sunat berarti memotong sebagian kulit yang menutupi alat kemaluan. Secara bahasa, kata khitan berasal dari bahasa Arab, yakni –kha-ta-na- yang berarti 'memotong' atau 'mengerat.'

Menurut istilah, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, khitan adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar atau kemaluan laki-laki.

Khitan juga terdapat dalam tradisi-tradisi dunia. Kebiasaan sunat telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Ini berdasarkan hasil pengamatan dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba.

Namun, alasan khitan ini pada masa itu belum diketahui secara jelas. Beberapa pendapat memperkirakan, tindakan khitan ini merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada dewa. Dugaan lainnya, praktik khitan dilakukan sebagai penanda bahwa seorang lelaki sudah menuju kedewasaan. Khitan pun dapat menjadi tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah estetika atau seksualitas.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement