REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abuya Muda Wali merupakan seorang ulama karismatik asal Aceh. Namun, ia pun begitu dihormati di Ranah Minang. Sebab, perjalanan hidupnya sebagai mubaligh tak lepas dari lingkungan Sumatra Barat (Sumbar).
Khususnya, setelah ia menikah. Sejak menjadi kepala keluarga, pergaulan sosok yang lahir dengan nama Muhammad Waly itu kian luas di tengah masyarakat Minang. Ia berkenalan dengan sejumlah tokoh besar, semisal Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan lain-lain.
Menikah lagi
Pada awalnya, Syekh Jamil Jaho “hanya” sebatas guru dari Muhammad Waly. Akan tetapi, sosok ulama Minang ini lantas ingin menjodohkan anaknya dengan lelaki tersebut. Putrinya, Rabi’ah Jamil, pun dipersunting Muhammad Waly, yang waktu itu sudah disapa dengan panggilan hormat: abuya muda. Pasangan ini kemudian dikaruniai dua orang anak, yakni Ahmad Waly dan Mawardy Waly.
Bersama istrinya yang kedua itu, Abuya Muda Waly berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji tiga bulan lamanya. Selama di Tanah Suci, ia berkesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama yang mengajar di Masjid al-Haram.
Selain itu, ia juga banyak berinteraksi dengan ulama-ulama Mesir yang sedang mengadaan rihlah keilmuan di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Abuya Muda Waly menikah untuk ketiga kalinya. Istrinya kali ini bernama Raudhatun Nur, salah seorang keponakan Teuku Usman Paoh—ulama asal Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dari istri yang ketiga ini, lahirlah Amran Waly atau yang di kemudian hari menjadi pemimpin dayah Darul Ihsan Desa Paoh, Labuhan Haji.
Selanjutnya, Abuya Muda Waly juga menikah dengan Rasimah. Darinya, ia memperoleh seorang putra bernama Muhammad Nasir. Pernikahan yang keempat ini dilakukan atas permintaan dari keluarga ibu kandung Abuya Muda Waly. Tujuannya agar ada pertalian dengan ahli famili. Setelah Abuya Muda Waly bercerai dengan istri keduanya (Rabi'ah Jamil), ia pun menikah dengan Ummi Aisyah, seorang perempuan asal Teunom, Aceh Jaya.
Bertasawuf
Di puncak kariernya, Abuya Muda Waly telah diakui masyarakat luas sebagai seorang ulama besar. Akan tetapi, pada batinnya tokoh ini masih bimbang. Hatinya seakan-akan masih terus ingin mencari hakikat diri dan kehidupan. Akhirnya, ia mengambil langkah untuk memasuki jalan tasawwuf.
Mulanya, Abuya Muda Waly mengikuti Tariqat Naqsyabandiyah. Ia berguru pada Syekh Haji Abdul Ghani al-Kamfari di Batu Basurek, Kampar, Sumatra Barat. Seiring waktu, ia pun diangkat menjadi mursyid tarekat ini. Setelah mendapatkan ijazah, dia kembali ke Padang, Sumatra Barat. Di sana, tepatnya Lubuk Bagalung, Padang, ia mendirikan sebuah pondok pesantren bernama Bustanul Muhaqqiqin.
Pada 1939, Abuya Muda Waly kembali ke Aceh Selatan. Di kampung halamannya itu, ia merintis sebuah Pesantren Darussalam. Lembaga ini menjadi laboratorium baginya merumuskan ulang sistem pendidikan. Ia menggabungkan sistem dayah dan madrasah. Sehingga, tiap murid diharuskan untuk menamatkan suatu kitab sekaligus aktif dalam diskusi di kelas.