REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asro Kamal Rokan, Jurnalis Senior dan Mantan Pimred Republika*
SITUASI semakin sulit saat itu. Nilai rupiah jatuh menjadi Rp 13.673 per dolar AS, tidak lama setelah Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Dana Moneter Internasional (IMF), 15 Januari 1998.
IMF yang semula diyakini sebagai dewa penyelamat, seakan membiarkan kondisi semakin buruk. Soeharto kecewa, bangunan puluhan tahun rontok dengan cepat.
Di Hotel Shangri La Jakarta, seorang lelaki berkulit putih menginap di salah satu kamar. Kedatangannya dirahasiakan. Dia terdaftar dengan nama Simon Holland. Namun, The Asian Wall Street Journal edisi (24 Februari 1998) melaporkan, lelaki dengan indentitas aneh itu adalah Prof Steve H Hanke, pengajar Ilmu Ekonomi Terapan pada Department of Geography and Environmental Engineering, Universitas John Hopkins, Amerika Serikat.
Soeharto berharap besar pada Hanke untuk menstabilkan nilai rupiah. Hanke, yang ditunjuk sebagai penasihat ekonomi Pak Harto, menyodorkan sistem dewan mata uang (currency board system -- CBS) yang mematok Rp 5.500 per dolar AS. Hanke memang ahlinya. Pak Harto yakin sekali, inilah cara pemungkas menstabilkan nilai tukar rupiah.
Pak Harto menyiapkan skenario untuk memuluskan CBS. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang CBS pun disiapkan. Pada 11 Februari 1998, Pak Harto menandatangani surat pemberhentian Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, sebelum masa tugasnya berakhir. Soedradjat disebut-sebut menolak pemberlakukan CBS.
Namun tekanan lebih besar muncul. Sejumlah pengamat ekonomi nasional menolak CBS. IMF pun protes, dengan menyebutkan pemberlakukan CBS tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah ditandatangani Pak Harto. Tekanan lebih berat datang dari AS, Jerman, Jepang, Australia, dan Inggris. Presiden Bill Clinton langsung menelepon Pak Harto agar menerima resep IMF. Begitu juga pemimpin negara lain.
Rencana Pak Harto untuk menerapkan CBS akhirnya kandas, meski ketika itu nilai tukar rupiah mulai membaik, dari Rp 13.673 pada Januari menjadi Rp 8.800 pada pertengahan Februari, dan kemudian turun lagi.
Krisis moneter berlanjut ke wilayah politik. Mei 1998, kerusuhan meledak di berbagai daerah. Soeharto akhirnya menyerah pada 21 Mei, setelah 33 tahun berkuasa dan menjadi salah satu orang terkuat Asia.
Sepuluh tahun setelah peristiwa itu, di Jakarta, Prof Steve H Hanke berbicara di hadapan tokoh-tokoh bisnis Indonesia di Globe Asia Exclusive Insights, Jakarta. Dalam forum ini, seperti diberitakan LKBN Antara, Steve Hanke memaparkan kisah di balik penolakan konsep CBS.
Dalam berbagai pertemuan di Jalan Cendana, Soeharto menyetujui konsep Hanke dan mengangkat Hanke sebagai penasihatnya. Namun, rencana penerapan CBS mendapat reaksi keras. Menurut Hanke, pada waktu itu Soeharto ditekan oleh Presiden AS, Bill Clinton, dan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, supaya tidak melaksanakan CBS dengan ancaman menunda bantuan 43 miliar dolar AS.
Belakangan Hanke mendapat jawaban atas penolakan AS dan IMF. Penolakan itu, kata Hanke mengutip pendapat penerima Nobel ekonomi, Merton Miller, bukan karena sistem CBS tidak dapat dijalankan, melainkan apabila sistem itu berjalan maka Soeharto akan tetap berkuasa.
Serangan IMF dan AS terhadap Steve Hanke soal CBS itu juga aneh. Keanehannya, penerapan CBS di Argentina, yang juga jadi pasien IMF, diperbolehkan, sedangkan di Indonesia dilarang.
Mantan PM Australia, Paul Keating – yang dikenal bersahabat dengan Pak Harto -- berpendapat sama. Menurutnya, AS sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai alat menggusur Soeharto.
Belakangan, setelah berhenti sebagai Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus mengakui skenario menjatuhkan Soeharto itu.
Dalam wawancara David E Sangger, yang diterbitkan The New York Times, Rabu (10 Nov 1999) dengan judul Longtime IMF Director Resigns in Midterm, Camdessus menyebutkan, IMF mengkondisikan berakhirnya kekuasaan Soeharto. ''Kami menciptakan kondisi yang mengharuskan Presiden Soeharto meninggalkan jabatannya,'' kata Camdessus.
Dari semua peristiwa itu, Prof Hanke sampai pada kesimpulan: "Seperti yang dilakukan terhadap Shah Iran, Amerika Serikat telah mengeliminasi Soeharto."
Soeharto yang didukung AS berpuluh-puluh tahun-- seperti juga dilakukan Shah Iran yang dibela AS untuk menekan rakyatnya sendiri -- akhirnya juga jatuh secara tragis.
Dan, penggulingan Pak Harto atas campur tangan IMF dan Amerika Serikat itu, kita sebut: Reformasi!
----------
* Tulisan ini dimuat dalam Resonansi Republika, Rabu, 14 Mei 2008, dengan judul: STEVE HANKE, 1998