REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jamil Wahab, Peneliti Balitbang dan Diklat Kemenag
Menghadapi pandemi Corona (Covid 19) di Tanah Air, Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri di tengah Pandemi Wabah Covid 19. SE itu berisi antara lain: pelaksanaan tarawih agar dilakukan di rumah dan tidak menyelenggarakan sholat Idul Fitri.
Sebelumnya, MUI juga mengeluarkan sejumlah fatwa progresif, antara lain fatwa mengganti sholat Jumat dengan sholat Zuhur di rumah dan fatwa pengurusan jenazah karena Corona.
Fatwa sejenis, juga banyak dikemukakan, baik oleh atas nama individu maupun lembaga. Meski tidak semua sepakat, namun secara umum, mayoritas umat Islam menerima dan mematuhi fatwa tersebut. Fatwa-fatwa tersebut, secara substansi mengandung paradigma, bahwa ketuhanan dan kemaslahatan tidak terpisahkan.
Fatwa keagamaan tersebut, sangat relevan dalam konteks pencegahan penyebaran virus Corona di masyarakat. Fatwa tersebut juga paralel dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun demikian, perlu dipikirkan, bagaimana dampak kebijakan tersebut bagi masyarakat kecil.
Dimana mereka tidak dapat beraktivitas memenuhi tuntutan ekonomi. Untuk itu penting dan ditunggu adanya fatwa tentang penanganan dampak Corona, dan pemenuhan ekonomi masyarakat kecil sebagai dampak kebijakan PSBB. Hal ini penting, karena juga menyangkut kemaslahatan.
Dalam tradisi Islam, upaya membantu kelompok kurang mampu, dikenal dengan istilah zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Para ulama Islam umumnya membedakan zakat, infak, dan sedekah, hanya dari sisi bobot perintahnya.
Zakat sebagai hal yang diwajibkan, sementara infaq dan sedekah sebagai hal yang disunnahkan. Potensi ZIS umat Islam sangat besar. Survei Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2004 menyebutkan, jika ditotal, rupiah yang dizakat-sedekahkan mencapai Rp 19,3 triliun pertahun. Jumlah dana tersebut, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 trilyun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 trilyun.
Monzer Kahf (1999) menyatakan, banyak fakta sejarah menunjukkan kemiskinan bisa dihapuskan. Di masa Umar bin Khattab misalnya, Muadz bin Jabal sebagai Gubernur Yaman ketika itu, mengirmkan total hasil zakatnya ke Madinah, karena tidak lagi bisa membagi zakat di wilayahnya, sebab Yaman ketika itu merupakan provinsi yang mampu mengentaskan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan juga terjadi pada dua tahun masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, dimana saat itu tidak ditemukan orang miskin dalam negaranya. Suatu hal yang sangat ironis, keadaan kini berbalik, di belahan dunia manapun, umat Islam lebih akrab dengan kemiskinan. Menghadapi pandemi wabah Corona, dunia Islam tentunya paling terpengaruh oleh dampak wabah Corona tersebut.
Ajaran Islam sesungguhnya memiliki mekanisme support sosial untuk mengatasi kemiskinan, yakni dengan mendorong setiap muslim agar menolong sesamanya yang membutuhkan bantuan, menghapus kesenjangan sosial, hingga mewujudkan sosial ekonomi yang lebih baik.
Untuk itu, zakat harus dimaknai sebagai redistribusi kekayaan dan pendapatan untuk keadilan sosial. Dalam definisi lain, zakat merupakan tindakan pemindahan sebagian kekayaan dari golongan kaya kepada golongan miskin sebagai kewajiban ilahiyah demi terwujudnya keadilan sosial.
Masyarakat selama ini, umumnya memahami zakat dalam perspektif yang konvensional, yaitu terdiri zakat fitrah sebagai zakat jiwa, dan zakat maal (harta), dengan kadar dan tarif yang telah ditetapkan. Keduanya kemudian didistribusikan untuk 8 ashnaf (golongan).
Masdar F Masudi (1993) telah lama mengkritisi zakat secara substansial-universal. Baginya, konsep zakat yang saat berkembang di masyarakat saat ini, tidak bisa banyak diharapkan. Konteks kehidupan perekonomian saat ini sudah sangat jauh berubah, karena lebih banyak bertumpu pada sektor industri dan jasa. Berbeda dengan di zaman Nabi Muhammad yang masih dikategorikan dalam pola kehidupan tradisional (pertanian dan peternakan).
Untuk itu, Masdar menawarkan beberapa gagasan pembaharuan pemikiran tentang zakat yaitu, pertama, fungsi zakat sebagai sarana vital bagi terciptanya keadilan sosial. Kedua, objek yang dikenakan pajak. Ketiga, besar kecilnya kadar zakat. Keempat, kadar relatif dari tarif zakat. Kelima, waktu pembayaran zakat. Keenam, lembaga pemungut zakat.
Dalam kaitan dengan penanggulangan wabah Corona saat ini, dibutuhkan konsep zakat yang progresif dan kontekstual. Menteri Agama memang telah mengeluarkan panduan soal pengumpulan zakat fitrah dan/atau ZIS, namun itu masih sebatas himbauan mempercepat pembayaran zakat dan bagaimana menunaikan zakat dengan menerapkan physical distancing.
Sebagaimana adanya fatwa tentang pencegahan mengenai larangan sholat Jumat, Tarawih berjamah, dan sholat Idul Fitri yang cukup progresif, kini kita menunggu fatwa-fatwa baru tentang zakat dari ulama maupun lembaga yang otoritatif dan kredibel, sehingga zakat dapat kontributif dalam menanggulangi wabah Corona, mengatasi kemiskinan, serta menghapus kesenjangan sosial.