REPUBLIKA.CO.ID,
Sebelum masuk ke dunia rekaman, Didi Kempot dikenal sebagai penyanyi jalanan Kelompok Penyanyi Trotoar (Kempot) sekitar tahun 1984. Dia merantau ke Jakarta pada akhir 1980-an.
Maestro campursari ini lahir dari keluarga seniman. Ayahnya adalah Ranto Edi Gudel, pemain ketoprak di Jawa Tengah. Ibunya Umiyati Siti Nurjanah, penyanyi tradisional di Ngawi. Kakaknya adalah Mamiek Prakoso, pelawak yang tenar lewat grup Srimulat.
Nama Didi Kempot juga tenar di Suriname dan Belanda. Dia beberapa kali memenangi anugerah musik nasional di Suriname, negara yang 14 persen dari total populasinya merupakan komunitas Jawa.
Lagu "Cidro" menjadi awal kepopuleran penyanyi bernama asli Dionisius Prasetyo di negara Amerika Selatan bekas jajahan Belanda itu dan juga di Eropa.
Didi dijuluki The Godfather of Broken Heart atau Lord Didi karena lagunya kerap mengulas tema patah hati, kesedihan, penantian, dan kehilangan.
Tembang //hits//-nya antara lain "Stasiun Balapan", "Sewu Kuto", dan "Pamer Bojo". Dia terakhir bernaung di bawah label Nagaswara.
Sobat Ambyar, kempoters, sadbois, dan sadgerls merupakan julukan bagi penggemarnya.
Lord Didi dijadwalkan menggelar konser akbar peringatan 30 tahun berkarya bertajuk “Ambyar Tak Jogeti” di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta pada 10 Juli 2020.
"Ojo Mudik" menjadi lagu terakhirnya. Didi mengajak Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, Kapolresta Solo Kombes Pol Andy Rifai, dan Dandim 0735/Solo Letkol Inf Wiyata Sempana Aji berkolaborasi dalam lagu yang diciptakan di tengah pandemi Covid-19.
18 April 2020 merupakan penampilan publik terakhir dari Didi Kempot. Konser untuk menggalang donasi penanganan pandemi Covid-19 itu berhasil mengumpulkan Rp 7,6 miliar.
Didi mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 53 tahun pada Selasa (5/5) pagi di Solo, Jawa Tengah. Ia dimakamkan di Ngawi.