REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Allah SWT memerintahkan umat Islam agar senantiasa mengerjakan ibadah shalat dengan khusyuk. Karena, hanya mereka yang khusyuk-lah yang akan mendapat keberkahan dan keberuntungan dari Allah SWT. Sungguh, beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) mereka yang khusyuk (dalam shalatnya). (Al-Mu'minun [23]: 1-2).
Menurut Syekh ‘Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitab Tafsir al-Khazin, (juz V halaman 32), khusyuk dalam shalat adalah menyatukan konsentrasi dan berpaling dari selain Allah serta merenungkan semua yang diucapkannya, baik berupa bacaan Alquran ataupun zikir.
Setiap orang tua berkewajiban mendidik putra-putrinya agar taat kepada Allah. Seorang ayah mengajarkan kepada anaknya tentang shalat lima waktu, membaca Alquran, berpuasa di bulan Ramadhan, menunaikan zakat, bersedekah, dan lain sebagainya.
Sebab, anak merupakan penerus orang tuanya, dan ia harus dididik dengan pendidikan yang baik, terutama pendidikan akhlak. Dalam Alquran Allah menyatakan; Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS An-Nisaa [4]: 9).
Karena itu, sudah semestinya, setiap orang tua mendidik putra-putrinya agar menjadi orang yang kuat dan mampu. Kuat dalam pengetahuan agama, kuat dalam bidang ekonomi, kuat dalam pemikiran (pendidikan), dan lainnya.
Salah satu upaya mendidik anak adalah dengan shalat. Rasulullah SAW bersabda, Saat anak-anakmu berumur enam tahun, perintahkan mereka untuk mengerjakan shalat. Ketika mereka berumur tujuh tahun, suruhlah mereka secara lebih keras agar rutin mengerjakan shalat. Jika perlu, mereka harus dihukum jika tidak rutin dalam melaksanakan shalat mereka. (Mustadrak al-Wasa’il, jilid 1, halaman 171).
Saat shalat, terkadang anak-anak kita menangis. Untuk menenangkannya, maka si anak terpaksa digendong. Pertanyaannya, bolehkah ketika shalat kita menggendong anak? Berdasarkan riwayat dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW pernah shalat, sementara Umamah —anak perempuan Zainab, yakni putri Rasulullah SAW,— di bahu beliau. Jika Rasul rukuk, maka beliau meletakkan anak itu dan jika bangkit dari sujud, maka beliau mengangkatnya dan meletakkannya kembali di atas bahu beliau. Amir mengatakan, aku tidak menanyakan shalat apa sebenarnya yang beliau lakukan ketika itu. Namun, Ibnu Juraij berkata; ‘’Aku diberitahukan oleh Zaib bin Abu Itab dari Umar bin Sulaim bahwa shalat yang dikerjakan Rasul SAW saat itu adalah shalat Shubuh. (HR Bukhari dalam ash-shalah jilid I hal 137, Muslim kitab Masajid, jilid I, hal 385, sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah).
Dari Abdullah bin Syaddad, dari ayahnya, dia berkata, pada suatu siang, Rasul keluar untuk shalat Zhuhur atau Ashar. Beliau membawa Hasan atau Husein, lalu beliau meletakkan anak itu didepan beliau saat akan shalat, kemudian bertakbir. Setelah itu beliau sujud cukup lama. Aku, kata Ibnu Syaddad, mengangkat kepalaku dan saat itu aku melihat anak itu berada di atas punggung Rasul SAW. Aku pun kembali bersujud.
Setelah selesai, para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, tadi engkau sujud begitu lama, sehingga kami menyangka telah terjadi sesuatu atau wahyu turun kepadamu? Rasul bersabda: Bukan begitu? Hanya saja, cucuku ini naik ke atas punggungku. Dan aku tidak ingin menurunkannya dengan segera hingga dia merasa puas (berada di atas punggungku). (HR Ahmad, Nasai, dan hakim).
Berdasarkan keterangan ini, para ulama membolehkan shalat menggendong anak. Imam Nawawi berpendapat, hadis di atas menjadi dalil bagi mazhab Syafii dan mazhab lainnya yang sependapat dengannya, bahwa diperbolehkan membawa dan menggendong anak-anak, baik laki-laki dan perempuan atau lainnya seperti hewan yang suci.
Mazhab Maliki berpendapat, hal itu hanya dibolehkan pada shalat sunnah, bukan shalat fardhu. Namun kata Imam Nawawi, pendapat terakhir ini tidak bisa diterima, sebab dalam hadis d iatas sangat jelas bahwa Rasul sedang mengimami shalat.
Sebagian mazhab Maliki menganggap hadis ini telah di-mansukh (dihapus) dan hukumnya tidak berlaku lagi. Sebagian lagi berpendapat, hal ini hanya khusus bagi Rasul SAW. Ada juga yang berpendapat, Rasul terpaksa melakukan itu atau karena keadaan darurat. Sayyid Sabiq menyatakan, semua alasan ini tidak bisa diterima, lantaran tidak ada keterangan yang menjelaskan adanya penghapusan atau pengkhususan bagi Rasul SAW maupun kondisi darurat. Membawa atau menggendong anak dalam shalat hukumnya mubah (boleh) sesuai keteragan hadis diatas dan hal ini tidak menyalahi syariat, tegasnya.
Kendati diperbolehkan, namun setiap Muslim harus memperhatian hal-hal pokok saat akan membawa atau menggendong anak kecil itu. Syarat pertama, si anak harus dalam keadaan suci, tidak mengompol atau bajunya dalam keadaan najis, popoknya berisi najis, atau sandal yang dipakainya kena najis. Maka, jika anak itu tidak suci (kena najis), membawa atau menggendong si anak tersebut dalam shalat tidak dibolehkan.
Dahulu Nabi SAW pernah shalat mengenakan sandal, dan ketika di tengah-tengah shalat tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya, sehingga para sahabat pun ikut-ikutan melepaskan sandalnya. Seusai shalat Rasulullah SAW mengabarkan bahwa ia diberi tahu oleh Malaikat Jibril bahwa di sandalnya terdapat kotoran (najis), oleh karena itu beliau melepaskan sandalnya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al Baihaqi, Ad Darimi dan lain-lain). Wallahu a’lam.