REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor meminta pemerintah merealokasikan anggaran program Kartu Prakerja untuk bantuan tunai. Bantuan dapat disalurkan bagi masyarakat yang membutuhkan karena terdampak pandemi Covid-19.
"Setiap hari, kita mendengar keluhan-keluhan masyarakat dari media-media soal sulit dan belum meratanya bantuan sosial. Kalau dana Rp 5,6 triliun digelontorkan untuk platform digital atas nama pelatihan online tentu ini mencederai keadilan masyarakat banyak," kata Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Senin (11/5).
Sosok yang akrab disapa Gus Yaqut tersebut juga menilai program itu telah kehilangan nalar empati terhadap krisis (sense of crisis) di tengah wabah Covid-19 yang telah bermutasi cepat dari krisis kesehatan menjadi krisis ekonomi, bahkan kemanusiaan.
Pada masa pandemi, kata dia, masyarakat lebih membutuhkan tambahan pendapatan daripada sekadar pelatihan online yang tidak secara ketat mengukur partisipasi dan peningkatan kualitas peserta.
"Tambahan pendapatan sebesar Rp1 juta tentu jauh lebih berguna daripada hanya memperoleh sertifikat tetapi tidak akan tahu apa manfaatnya," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu.
Gus Yaqut mengatakan, pemerintah justru menjadikan perusahaan-perusahaan digital itu, bahkan di antaranya sudah kelas unicorn yang salah satunya ditengarai sebagai perusahaan asing, bertambah pundi-pundinya dengan duit APBN.
"Ini kayak pemberian cuma-cuma pemerintah dalam jumlah besar kepada korporasi swasta justru pada saat negara sedang menghadapi keterbatasan anggaran," katanya.
Selain itu, dia khawatir jika pelatihan online semacam itu ke depan akan menjadi modus baru bagi korporasi swasta untuk mengambil anggaran pemerintah dalam balutan kegiatan yang di dalamnya tidak menuntut mekanisme pertanggungjawaban publik, kecuali sebatas dokumen administratif.
Di sisi lain, kata dia, beberapa sesi pelatihan di Kartu Prakerja mudah ditemukan di banyak platform media sosial dan daring secara secara gratis.
Bahkan, dia menyampaikan, GP Ansor saja sudah membuat pelatihan online gratis dan praktis, seperti kursus bahasa Korea.
"Kami juga membuat pelatihan online aplikasi web untuk membangun e-commerce, pelatihan aplikasi mobile e-commerce, pelatihan membuat konten Instagram, pelatihan membuat konten motion graphic, hingga kelas-kelas kewirausahaan, dan lain-lain," kata Gus Yaqut.
Program Kartu Prakerja yang hanya dapat diakses secara daring, kata dia, menjadikannya tidak inklusif dan tidak aksesibel bagi sebagian kalangan masyarakat, apalagi data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan hampir separuh penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap internet.
"Bisa jadi mereka lebih memilih menjual telepon pintarnya untuk beli sembako atau bayar kontrakan rumah pada masa sulit ini daripada ikut Kartu Prakerja yang harus diakses dengan kuota internet yang juga harus dibeli," katanya.
Gus Yaqut mengatakan bahwa pelatihan itu tidak menyediakan jaminan akses terhadap pekerjaan yang sebenarnya. Akan tetapi, justru bakal menambah beban pemerintah pada masa mendatang karena output program tidak benar-benar terserap di pasar kerja yang ada atau benar-benar bisa memulai pekerjaan mandirinya (own-account worker), apalagi pandemi COVID-19 telah menghantam sendi-sendi ketenagakerjaan.
"Mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, GP Ansor memandang program ini harus didesain ulang dengan mengintegrasikan perspektif krisis dan pendekatan the new normal. Hentikan kerja sama dengan platform digital Kartu Prakerja pada saat pandemi masih berlangsung. Realokasikan anggaran untuk bantuan tunai bagi masyarakat (cash transfer program),” kata Gus Yaqut menegaskan.
Gus Yaqut mengatakan, memberikan bantuan tunai akan bisa menjaga daya beli masyarakat sekaligus menjadi asa menjaga pertumbuhan ekonomi, mengingat konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama PDB Indonesia.
"GP Ansor berharap pemerintah memperkuat resiliensi masyarakat bawah dengan menginvestasikan lebih banyak program yang bisa langsung dinikmati dan dapat menjawab kebutuhan dasar mereka. Menghentikan pelatihan online bukan saja menyelamatkan APBN dari kemubaziran, melainkan akan menambah jumlah penerima manfaat bantuan sosial," pungkasnya.