REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengingatkan semakin berkembangnya transaksi ekonomi digital di Indonesia perlu dibarengi dengan upaya perlindungan konsumen yang nyata dan tertulis dengan baik dalam bentuk undang-undang. "Perluasan akses teknologi informasi komunikasi dan perlindungan konsumen menjadi dua hal yang patut diimplementasikan beriringan untuk mendukung transaksi ekonomi digital," kata Ira Aprilianti di Jakarta, Ahad (17/5).
Ia mengingatkan berdasarkan data Google & Temasek 2019, ekonomi berbasis internet di Indonesia berkembang hingga empat kali lipat antara tahun 2015 hingga 2019. Angkanya mencapai sekitar 40 miliar dolar AS atau 3,57 persen dari nilai PDB Indonesia.
Sedangkan sebagai negara dengan nilai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025. "Pemerintah perlu memperhatikan proporsi mereka yang tergolong sulit mendapatkan akses internet, baik itu latar belakang ekonominya hingga sebaran daerah yang rendah konektivitas internetnya," kata dia.
"Akses internet dapat mendukung inklusi digital yang berdampak pada peningkatan potensi ekonomi. ADB memperkirakan efek kumulatif dari akselerasi inklusi keuangan yang didorong secara digital dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 2-3 persen, yang dapat diwujudkan menjadi peningkatan pendapatan sebesar 10 persen pada masyarakat prasejahtera Indonesia dengan pendapatan kurang dari 2 dolar per hari," ucap Ira.
Selain perluasan akses internet, ujar dia, perlindungan konsumen dan data transaksi ini juga perlu diperkuat, yaitu dengan merevisi UU Perlindungan Konsumen dan legislasi Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi. Dengan demikian, benar-benar memastikan konsumen mendapatkan perlindungan yang konsisten untuk transaksi, baik secara langsung maupun daring.
Pada e-commerce, pihak ketiga sebagai penghubung memainkan peran penting dalam menengahi sengketa dan memfasilitasi ganti rugi antara pelaku usaha dan konsumen daripada pada transaksi langsung. Namun karena UU Perlindungan Konsumen tidak mengakui peran pihak ketiga, penting untuk memasukkan peran mereka ke dalam revisi yang akan dilakukan.
Selain mengakui pihak ketiga, revisi UU ini juga perlu mengevaluasi penjualan kembali secara daring, penggunaan internet secara umum, aturan pengumpulan data, ketentuan yang adil untuk kontrak digital, transaksi konsumen dengan konsumen, transaksi lintas negara dan transaksi produk digital seperti perangkat lunak dan media.
"Revisi UU Perlindungan Konsumen harus diselesaikan secepat mungkin agar dapat menjawab pertumbuhan ekonomi digital yang telah melampaui kemampuan kapasitas pemerintah dan desakan masalah yang muncul dari adanya celah hukum dan non-hukum. Panduan internasional dan regional serta praktik terbaik, dari ASEAN dan rekan global lainnya, harus dipertimbangkan saat berkonsultasi dan saat proses perancangan," ujarnya.
Pemerintah juga dinilai harus melakukan reformasi institusi di bidang ekonomi digital dan perlindungan konsumen. Hal ini bertujuan agar interpretasi dan penegakan hukum lebih terkoordinasi antara kementerian/lembaga.
Selanjutnya, konsumen harus diberikan akses terhadap informasi untuk meningkatkan literasi mereka atas hak dan kewajiban konsumen, terutama cara memperjuangkan hak-haknya. Salah satunya adalah hak untuk melayangkan aduan.
Ira mengharapkan agar Sistem Informasi Pengaduan Konsumen Nasional yang tengah dirancang Kementerian Perdagangan dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) agar tetap diluncurkan tahun ini sesuai rencana. "Akhirnya, E-Court dapat mengambil peran dalam penyelesaian sengketa konsumen serta mengurangi biaya para pihak bersengketa dengan mengurangi persyaratan kehadiran langsung di pengadilan. Langkah-langkah ini bisa menjadi langkah pertama dalam pengembangan jangka panjang sebuah portal online yang dapat berevolusi menjadi mekanisme yang layak," ucapnya.