REPUBLIKA.CO.ID, Kemusliman adalah identitas terawal, tertinggi, dan termulia. Dengan identitas itu, kita dikenal dan berinteraksi. Dengan itu pula kita menyikapi segala hal. Bahkan, bagaimana kita diperlakukan ketika lahir dan meninggal dunia, akan bergantung padanya.
Allah SWT berfirman, "Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS al-An'aam [6]: 162-163).
Perintah Allah itu memang awalnya pada Nabi Ibrahim AS. Namun, hal itu juga tertuju pada kita ketika tertera dalam kitab suci. Kita tidak cuma diperintahkan untuk tegas mengikrarkan diri dalam penyerahan total kepada Allah.
Lebih dari itu, kita juga diperintahkan berlomba-lomba menjadi orang-orang yang pertama, ada di barisan terdepan, dalam menyatakan diri sebagai Muslim. Tentu, bukan cuma di bibir, melainkan dibuktikan dalam setiap detak jantung dan detik kehidupan, di dalam aspek ibadah, akhlak, berpakaian, bertingkah laku, makanan dan minuman, berpolitik, berbisnis, dan sebagainya.
Identitas itu pula yang dipakai Rasulullah SAW dalam surat-suratnya kepada penguasa terbesar pada masa beliau, Kaisar Romawi Heraklius. Dengan mengutip ayat-ayat Alquran, Rasul menyeru salah satu kaisar terbesar imperium itu kepada Islam. Bila menolak maka, "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang berserah diri kepada Allah)." (QS Ali Imran [3]: 64).
Bayangkan, di hadapan kaisar, demi menghadapi negara terkuat dan terluas di dunia saat itu, seorang kepala negara seperti Rasulullah SAW tidak menyebutkan identitas atau jati diri yang lain, misal jabatan, latar belakang, atau jumlah kekuatannya. Seolah-olah kita diajari untuk rendah hati meski sebenarnya itu justru pengakuan kemuliaan, baik di dunia maupun akhirat.
Sebab, seperti tertera dalam Sahih Muslim, sebagaimana dituturkan Abu Sufyan yang menjadi saksi pembacaan surat Nabi, bahwa kaisar sampai mengatakan, "Bila beliau ada di hadapanku, akan kucuci kakinya dan bersimpuh di hadapannya," sebagai respons pernyataan Nabi bahwa dirinya adalah Muslim.
Itulah hati nurani seorang kaisar yang mau mengakui kehinaan dirinya karena bukan Muslim meski jutaan rakyatnya memuliakan, bahkan bersujud padanya setiap hari. Ironisnya, kini banyak orang malu dan takut menyebut dirinya sebagai Muslim, baik itu rakyat jelata, wakil rakyat, maupun pemimpin organisasi atau negara.
Mereka khawatir dituduh sektarian, memecah belah masyarakat, atau dikaitkan dengan teroris dan semacamnya. Mereka jengah tidak dianggap bagian masyarakat modern yang terpengaruh Barat, padahal peradaban Barat banyak merujuk peradaban Romawi dan Yunani, di mana seseorang yang paling dimuliakan di sana hingga hari ini (Heraklius) telah menyatakan kehinaan dirinya karena bukan bagian dari kaum Muslimin.