REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan, penyelidikan soal kisruh mahalnya harga gula yang berlarut-larut telah ditingkatkan ke ranah hukum. KPPU menemukan adanya indikasi pelanggaran aturan persaingan usaha antarpengusaha.
"Kami sampaikan, saat ini persoalan gula masuk ke proses hukum, tidak lagi tahap kajian ekonomi," kata Komisioner KPPU Guntur Saragih dalam konferensi pers, Rabu (20/5).
Ia menjelaskan, dari hasil kajian KPPU, surat persetujuan impor gula dan realisasinya sudah terjadi. Dalam periode Januari hingga Mei 2020 sudah masuk gula impor sebanyak 450 ribu ton. Namun, harga tetap tinggi bahkan jauh dari patokan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 12.500 per kg.
Menurut Guntur, HET sejatinya sudah memberikan ruang yang besar untuk margin keuntungan pelaku usaha dalam negeri. Terlebih lagi, menurutnya, bagi mereka para importir. Di sisi lain, pemerintah juga sudah memberikan relaksasi bagi gula rafinasi milik industri untuk bisa dikonversi menjadi gula konsumsi sebanyak 250 ribu ton.
"Tapi faktanya harga masih tinggi. Ini bisa berpotensi menjadi alat bukti untuk berikan sanksi ke pelaku usaha terkait jika nanti kami temukan adanya pelanggaran persaingan usaha," kata Guntur.
Lebih lanjut, ia menuturkan, harga gula dunia juga sedang stabil. Hal itu menunjukkan situasi yang stabil dari berbagai negara produsen gula. Persoalan mengenai sempat terlambatnya penerbitan surat persetujuan impor (SPI) dari pemerintah untuk mengimpor gula pun telah terselesaikan dengan terealisasinya impor.
Ketika gula tersebut telah masuk di dalam negeri, maka KPPU dapat melakukan pemeriksaan dalam ranah persaingan usaha. Pihak yang terbukti sengaja menjual gula impor dengan harga tinggi pun bisa dikenakan sanksi.