Jumat 22 May 2020 09:13 WIB

Melepas Ramadhan dengan Takbir

Takbir boleh dilakukan di rumah-rumah, masjid-masjid, pasar, dan jalanan.

Anak menabuh beduk di malam takbiran.
Foto: dok Republika
Anak menabuh beduk di malam takbiran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Apabila tiba waktunya, kita akan melepas bulan Ramadhan dengan takbir. Alah Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah/2: 185).  Yang dimaksud mengagungkan Allah SWT adalah bertakbir.

Takbir yang dikumandangkan ini termasuk takbir mursal, yakni takbir yang dapat dibaca kapan saja dan tidak harus mengikuti shalat fardhu seperti halnya takbir muqayyad. Takbir muqayyad (takbir yang tertentu waktunya) merupakan zikir yang biasa dibaca seusai shalat fardhu. Dari segi irama, kedua jenis takbir ini juga berbeda tempo dan dinamikanya.

Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir berkata bahwa ayat di atas adalah dalil disyariatkannya takbir  pada Hari Raya Idul Fitri. Lafadz takbir adalah Allahu Akbar. Di antara para ulama ada yang bertakbir, bertahlil, dan bertasbih pada waktu bertakbir. Misalnya, "Allahu Akbar Kabiraa, Walhamdulillah Katsiraa, Wasubhanallahi Bukrataa Waashilaa".

Mayoritas ulama berpendapat, seperti dikutip Wahbah al-Zuhaili  dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, takbir boleh dilakukan di rumah-rumah, masjid-masjid, pasar, dan jalanan, yaitu mulai pagi hari hingga sesaat sebelum shalat dengan suara keras, sampai dimulainya shalat Idul Fitri, yang disunahkan dilakukan secara berjamaah.

Namun menurut Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Muin, sunah membaca takbir pada malam Hari Raya Idul Fitri. Tepatnya sejak matahari terbenam yang ditandai dengan terlihatnya hilal bulan Syawal sampai imam membaca takbiratul ihram saat shalat Idul Fitri. Jadi terdapat rentang waktu sekitar dua belas jam untuk menggemakan takbir.

Menggemakan takbir pada malam Hari Raya Idul Fitri termasuk bagian dari sunah Nabi SAW, seperti sabda beliau, “Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adha dengan mengharap pahala maka hatinya tidak akan mati ketika semua hati mati.” (HR. Thabrani). Takbir itu sendiri sejatinya adalah doa dengan cara memuji.

Tentang perintah bertakbir setelah terlihat hilal bulan Syawal, diperkuat oleh Syaikh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir dengan mengutip pendapat Ibnu Abbas. Bahkan menurut Imam Syafi’i, seperti dikutip Syaikh Nawawi, takbir pada dua hari raya itu, baik Idul Fitri maupun Idul Adha dianjurkan untuk digemakan. Maksudnya, dibaca dengan suara keras.

Selain itu, dianjurkannya takbir agar dibaca dengan suara keras karena takbir adalah bagian dari syiar-syiar Allah SWT. Seperti firman-Nya, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. al-Hajj/22: 32). Jadi ada korelasi antara puasa, takwa, dan takbir.

Secara filosofis, makna terdalam takbir adalah pengakuan bahwa hanya Allah Yang Mahabesar. Ke-Maha-Besaran-Nya bukan karena dibesarkan makhluk-Nya baik dalam takbir mursal maupun takbir muqayyad. Lantunan kalimat takbir sejatinya adalah doa agar kita dibesarkan-Nya, baik ilmu, amal, dan hikmah.

Anas bin Malik berkata, “Di Perang Khaibar, Rasulullah SAW shalat Shubuh sebelum tiba waktu fajar, lalu menaiki kudanya dan berkata, “Allahu Akbar, Khaibar akan takluk”. Dan sungguh benar, kami telah menaklukkan mereka di pagi harinya.” (HR. Bukhari). Semoga takbir di malam Hari Raya Idul Fitri memusnahkan Corona dari muka bumi besok paginya. Aamiin.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement