Senin 25 May 2020 14:02 WIB

Gamelan Sekaten di Cirebon tak Mengalun Akibat Covid-19

Sepeninggal Sunan Gunung Jati, penabuhan Gamelan Sekaten terus dilanjutkan penerusnya

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Gamelan Sekaten peninggalan Sunan Gunung Jati berusia 600 tahun yang ditabuh setahun dua kali saat Idul Fitri dan Idul Adha di Sitinggil Keraton Kasepuhan Cirebon. Rabu (5/6).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Gamelan Sekaten peninggalan Sunan Gunung Jati berusia 600 tahun yang ditabuh setahun dua kali saat Idul Fitri dan Idul Adha di Sitinggil Keraton Kasepuhan Cirebon. Rabu (5/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu Wali Songo penyebar Islam di tanah Jawa, menyebarkan syiar Islam kepada penduduk di Cirebon dengan sejumlah media. Salah satunya, melalui seni dengan penabuhan Gamelan Sekaten.

Di masa itu, penguasa Kesultanan Cirebon tersebut membunyikan Gamelan Sekaten di alun-alun setempat. Bagi masyarakat yang ingin mendengarkan ‘konser’ gamelan itu, maka harus membayarnya terlebih dulu.

Namun, membayarnya tidak dengan uang, melainkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, “Asyhadu an Laa Ilaaha Illallaahu, Wa Asyhaduanna Muhammadar Rasuulullah”.

“Makanya gamelan ini disebut Gamelan Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat),” ujar Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, Ahad (17/5).

Sepeninggal Sunan Gunung Jati, penabuhan Gamelan Sekaten terus dilanjutkan oleh para penerusnya sebagai sebuah tradisi turun temurun. Saat ini, penabuhan Gamelan Sekaten biasa dilakukan di Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon.

Namun, gamelan yang kini sudah berusia sekitar 600 tahun tersebut hanya ditabuh dua kali dalam setahun. Yakni, saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Gamelan Sekaten biasanya ditabuh sesaat setelah Sultan Sepuh dan ribuan umat Islam baru saja selesai menunaikan Sholat Idul Fitri di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, yang tak jauh dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Sultan dan kaum kerabatnya akan langsung menuju Siti Inggil untuk menyaksikan gamelan yang ditabuh oleh para nayaga.

Namun, merebaknya pandemi Covid-19 pada tahun ini, memaksa pihak keraton untuk meniadakan tradisi penabuhan Gamelan Sekaten. Termasuk juga sejumlah tradisi lain terpaksa ditiadakan sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

“Idul Fitri tahun ini (Gamelan Sekaten) tidak ditabuh karena adanya wabah Covid-19,” tukas Sultan Sepuh.

Sultan Sepuh mengatakan, merebaknya pandemi Covid-19 dan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), telah membuat Keraton kasepuhan menyesuaikan kegiatan dan tradisi mereka dengan kebijakan pemerintah.

Selain penabuhan gamelan sekaten, tradisi lain di Keraton Kasepuhan yang juga ditiadakan akibat pandemi Covid-19 di antaranya adalah taraweh berjamaah dan buka puasa bersama anak yatim, wargi dan abdi dalem keraton.

Selain itu, saji maleman bersama ibu-ibu juga ditiadakan. Untuk Ramadhan kali ini, saji maleman hanya dibuat oleh ibu suri dan permaisuri sultan.

Begitu pula dengan  open house silaturahmi Sultan Sepuh bersama dengan para wargi, abdi dalem dan masyarakat pada lebaran kali ini juga ditiadakan. Biasanya, open house selalu digelar pada hari kedua lebaran.

Sedangkan Sholat Idul Fitri, untuk pelaksanaan di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa juga ditiadakan. Namun, untuk Sholat Idul Fitri di Langgar Agung Keraton Kasepuhan, tetap diadakan.

Pelaksanaan Sholat Idul Fitri di dalam Langgar Agung itu terbatas hanya untuk sultan, keluarga dan para wargi. Dalam pelaksanaan nanti, akan diterapkan protokol kesehatan, seperti jaga jarak maupun memakai masker. “Tidak ada salam-salaman atau bersentuhan,” tutur Sultan Sepuh.

Meski demikian, sejumlah tradisi Ramadhan tetap dilakukan di Keraton Kasepuhan. Pasalnya, tradisi tersebut tidak melibatkan massa dalam jumlah banyak.

Salah satunya adalah tradisi dlugdag, yakni pemukulan bedug di Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon usai solat Ashar di hari terakhir bulan Syaban. Pemukulan bedug itu menandai masuknya bulan Ramadan pada keesokan harinya.

Tradisi lain yang tetap diakukan adalah saji maleman untuk menyambut malam Lailatul Qodar. Tradisi saji maleman ditandai dengan penyalaan delepak dan pembakaran ukup setiap malam tanggal ganjil bakda Maghrib.

Hal itu dilakukan setiap malam ganjil di pintu cungkup makam Sunan Gunung Jati sampai dengan cungkup makam Sultan Sepuh XIII Keraton Kasepuhan, di Astana Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement