Kamis 28 May 2020 17:37 WIB

Kongres AS Setujui Sanksi untuk China Soal Uighur

Sanksi untuk China terkait Uighur disetujui Kongres AS.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Kongres AS Setujui Sanksi untuk China Soal Uighur. Foto: Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)
Foto: AP
Kongres AS Setujui Sanksi untuk China Soal Uighur. Foto: Muslim Uighur dan aparat keamanan di Cina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Kongres Amerika Serikat (AS) pada Rabu (27/5) mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang akan menjatuhkan sanksi pada pejabat China yang terlibat dalam penindasan dan penahanan terhadap warga Uighur dan kelompok etnis lain di wilayah barat Xinjiang. RUU tersebut telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sudah melewati Senat. Selanjutnya, RUU itu tinggal membutuhkan tanda tangan dari Presiden AS Donald Trump.

Baik anggota Kongres dari Partai Republik dan Demokrat sama-sama mendukung RUU tersebut. Tidak ada yang berbicara menentangnya, dan RUU itu didukung di DPR dengan suara 413-1.

Baca Juga

"Tindakan biadab Beijing yang menargetkan orang-orang Uighur adalah kemarahan terhadap hati nurani kolektif di dunia," kata Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, dalam pidatonya dalam mendukung RUU tersebut, dilansir di AP, Kamis (28/5).

RUU ini adalah yang pertama dalam sejarah yang lolos dengan suara proksi setelah Demokrat, atas keberatan anggota partai Republik, mengadopsi langkah yang memungkinkan suara tersebut sebagai tanggapan terhadap wabah virus corona. Tahun lalu, kongres AS memilih untuk mengecam tindakan keras di Xinjiang, di mana pemerintah China telah menahan lebih dari satu juta orang di sebuah pusat penahanan. Mereka yang ditahan sebagian besar adalah kelompok etnis Muslim, termasuk dari etnis Uighur, Kazakh, dan Kirgistan.

Sementara itu, undang-undang baru ini dimaksudkan untuk meningkatkan tekanan dengan menjatuhkan sanksi pada pejabat China tertentu, seperti pejabat Partai Komunis yang mengawasi kebijakan pemerintah di Xinjiang. Undang-undang ini juga mengharuskan pemerintah AS untuk membuat laporan ke Kongres tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang selama satu tahun terakhirserta akuisisi teknologi China yang digunakan untuk penekanan dan penahanan massal.

RUU itu juga memberikan penilaian atas laporan pelecehan dan ancaman yang meluas dari warga Uighur dan warga negara China lainnya di AS. Selain itu, Kementerian Luar Negeri AS, Kementerian Perdagangan AS, nantinya harus membatasi ekspor AS kepada seluruh entitas yang ada di Xinjiang, termasuk para subjek yang dikenai sanksi.

Pekan ini, Trump mengatakan ia akan sangat mempertimbangkan RUU tersebut di tengah kemarahan AS atas penanganan China terkait wabah virus corona dan ketegangan atas rencana China untuk membatasi kebebasan sipil di Hong Kong.  

Terlepas dari itu, seorang pejabat senior program di Uighur Human Right Project, Peter Irwin, mengatakan undang-undang tersebut merupakan langkah konkrit pertama dari sebuah pemerintah untuk menghukum China atas perlakukannya terhadap warga Uighur dan keberadaan kamp penahanan massal yang dikenal luas dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, itu menandakan bahwa anggota komunitas internasional sebenarnya mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut.

"Undang-undang itu sendiri harus memacu komunitas internasional lainnya, khususnya Uni Eropa dan blok negara-negara kuat lainnya, untuk benar-benar menganggap ini sebagai contoh dan mengesahkan undang-undang mereka sendiri," kata Irwin.

Perwakilan dari Partai Republik di Texas sekaligus ketua dari House China Task Force, Michael McCaul, menyebut apa yang terjadi di Xinjiang sebagai 'genosida budaya' terhadap orang Uighur dan kelompok etnis Muslim lainnya.

"Pengesahan RUU dengan dukungan bipartisan yang kuat akan "menunjukkan Partai Komunis China dan seluruh dunia bahwa perlakuan mereka terhadap Muslim Uighur tidak bisa dimaafkan dan tidak akan diizinkan tanpa konsekuensi serius," kata McCaul.

Semantara itu, China sendiri secara terbuka telah menepis berbagai kritik atas tindakannya di Xinjiang. China meresmikan kamp penahanan di Xinjiang pada 2014 sebagai kampanye yang disebutnya 'Pukul Keras terhadap Ekstremisme Kekerasan'. Xinjiang sendiri merupakan sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya yang penduduknya sebagian besar berbeda secara budaya dan etnis.

Pemerintah China menepis kritik dengan mengatakan bahwa itu adalah masalah internal. Mereka berdalih bahwa kamp penahanan itu sebagai pusat pelatihan kejuruan. Sementara aktivis uighur dan kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa banyak dari mereka yang ditahan adalah orang-orang yang memiliki gelar tinggi dan pemilik bisnis yang berpengaruh di komunitas mereka. Sehingga, tidak memerlukan pendidikan khusus.

Selain dipaksa untuk melakukan indoktrinasi politik, penyiksaan, dan lainnya, orang-orang yang ditahan di kamp-kamp interniran itu juga disebut dilarang mempraktikkan ajaran agama mereka atau berbicara dalam bahasa mereka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement