Jumat 29 May 2020 16:30 WIB

Pemberlakuan New Normal Harus dengan Komitmen

Rencana penerapan new normal sebenarnya juga menimbulkan pro-kontra.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas kepolisian memberikan imbauan kepada warga yang hendak mudik untuk menjaga jarak saat akan dipulangkan kembali ke Jakarta di Gerbang Tol Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/5) dini hari. Sekitar 200 pemudik yang menggunakan jasa travel tanpa izin beserta kendaraan pribadi terkena razia penyekatan dan akan dikembalikan ke Jakarta
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas kepolisian memberikan imbauan kepada warga yang hendak mudik untuk menjaga jarak saat akan dipulangkan kembali ke Jakarta di Gerbang Tol Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (23/5) dini hari. Sekitar 200 pemudik yang menggunakan jasa travel tanpa izin beserta kendaraan pribadi terkena razia penyekatan dan akan dikembalikan ke Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemprov Jabar, sudah menghembuskan wacana akan memberlakukan The New Normal. Anggota DPRD Provinsi Jabar, Daddy Rohanady pun, memberikan tanggapan terkait hal ini.

Daddy menilai, mengubah kebiasaan hidup bukanlah perkara mudah. Jadi, dibutuhkan komitmen kuat untuk melaksanakannya. "Komitmen dalam arti sesungguhnya ya. Bukan hanya sekadar komat-kamit temen," ujar Daddy kepada wartawan, Jumat (29/5).

Baca Juga

Menurut Daddy, rencana penerapan new normal sebenarnya juga menimbulkan pro-kontra. Bahkan, hal itu menyisakan banyak pekerjaan rumah. "Semua warga masyarakat diharapkan ikut atau taat pada "kehidupan berkebiasaan baru". Kita terpaksa menyesuaikan diri dengan gaya hidup baru berprotokol kesehatan," paparnya.

Daddy mengatakan, kalau mencuci tangan mungkin bukan hal aneh. Karena, sejak kecil kita sudah ditanamkan kebiasaan itu. Bedanya, dalam era new normal kebiasaan itu frekuensinya menjadi lebih banyak.  "Ada sesuatu yang agak baru, yakni social distancing yang kemudian dipadankan dengan jaga jarak," katanya.

Meskipun pada awalnya masyarakat menolak menjaga jarak, kata dia, sekarang terlihat sudah tidak menolak lagi. Namun, masalahnya orang Indonesia pada umumnya inklusif, sedangkan jaga jarak berkonotasi eksklusif. Selain itu, kita juga diharapkan selalu bermasker. Padahal, itu masih terasa janggal karena selain wajah tak tampak secara utuh, suara pun menjadi kurang jelas ketika bicara menggunakan masker.

"Masalahnya ada lagi, yakni soal kerumunan. //Lah kalau di terminal, stasiun, bandara, atau pelabuhan? Pengendalian situasi itu menjadi tugas tambahan buat para petugas di masing-masing lokasi," katanya.

Memang, kata dia, Covid-19 penularannya sangat cepat, sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus antisipasi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada yang menjulukinya virus kerumunan.

Daddy pun mengingatkan, ada yang harus diwaspadai ketika penerapan protokol kesehatan. Karena, bukan tidak mungkin masih terjadi pelanggaran di sana-sini. "Dampaknya bisa jadi akan melahirkan "the second wave of Covid-19"," katanya. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement