REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Abu Dawud adalah ulama hadits yang sangat sederhana, termasuk dalam berpakaian. Sebelah lengan baju Imam Abu Dawud lebih lebar daripada sebelah lainnya yang sempit. Menurutnya, lengan baju yang lebar untuk membawa kitab, sedangkan lengan satunya tidak perlu untuk diperpanjang, karena hanya memboroskan kain.
Imam Abu Dawud dilahirkan di daerah Sijistani termasuk wilayah Kota Basrah, dengan nama Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Imran al-Azdi al-Sijistani. Ia berkembang dalam keluarga taat beragama.
Sebagaimana tradisi ulama Islam lainnya, Imam Abu Dawud sejak dini telah belajar keilmuan Islam. Ia belajar Alquran, hadits, dan ilmu bahasa Arab.
Pengetahuan dan penguasaannya tentang ilmu hadits dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarganya. Bapaknya, al-Asy’as, adalah perawi hadits. Saudaranya, Muhammad bin al-Asy’as, seorang yang menekuni ilmu hadits. Dialah yang selalu menemani Abu Dawud dalam perjalanan mencari dan belajar ilmu hadits.
Lingkungan inilah yang mendukung Imam Abu Dawud memperoleh ilmu hadits secara mendalam. Di masa mudanya, Imam Abu Dawud melakukan al-rihlah li thalabi al-hadits (perjalanan untuk belajar dan mencari hadits). Ia melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Ia ke Khurasan, Baghdad, Hijaz, Mesir, Irak, Naisabur, dan tempat-tempat lain.
Imam Abu Dawud menjadi ulama hadits tidak lepas dari manfaat dari rihlah yang ia lakukan. Banyak ulama hadits yang ia temui. Ia berguru kepada mereka.
Salah satu gurunya adalah Ahmad bin Hambal. Selain banyak berguru, ia juga mengajarkan dan meriwayatkan hadits kepada para muridnya seperti al-Nasa’i dan al-Tirmizi.
Oleh karena ketenarannya sebagai ahli hadits, Amir di Baghdad, Abu Ahmad al-Muwaffaq, memintanya supaya tinggal di Baghdad. Imam Abu Dawud diminta mendirikan majelis ilmu guna mengundang orang-orang belajar hadits.
Permintaan ini dianggap penting karena saat itu Kota Basrah dan Baghdad dilanda tragedi peperangan. Kehadiran majelis ilmu diharapkan menjadikan dua kota ini makmur dan ramai kembali dalam dunia keilmuan.
Imam Abu Dawud pun menerimanya, sembari tetap melakukan pencarian hadits. Ia pun menetap di Kota Basrah hingga wafatnya pada 16 Syawal 275 H dalam usia 73 tahun.
Selain Sunan Abu Dawud, Imam Abu Dawud melahirkan beberapa karya lain. Seperti, misalnya, al-Marasil, Masail al-Imam Ahmad, al-Nasikh wa al-Mansukh, Risalah fi Wasf Kitab Sunan, al-Zuhud, Ijabat al-Salawat al-‘Ajjurri, Musnad Malik, Qaul Qadr, al-Du’a, A’lam an-Nubuwwat, dan lain-lain.
Sunan Abu Dawud
Pengaruh dan perkembangan ilmu fikih pada saat Imam Abu Dawud hidup sangat kuat. Pada masa itu, beberapa ulama menulis kitab hadits mengikuti perkembangan itu.
Penulisan kitab hadits menyesuaikan urutannya dengan urutan ilmu fikih. Sehingga, model ini pun dikenal dengan istilah Kitab Sunan. Demikian halnya dengan Sunan Abu Dawud.
Selain Imam Abu Dawud, beberapa ulama yang menulis kitab hadits dengan sistematika kitab fikih, seperti Ibnu Majah, al-Nasa’i, dan al-Tirmizi. Kitab hadits yang disusun dengan metode sunan berbeda dengan kitab yang disusun dengan model jami’, yakni kitab hadits yang disusun dengan bab-bab tertentu dan tema yang bermacam-macam.
Contoh kitab hadits model ini adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Selain itu, ada lagi model yang disebut dengan musnad, yakni kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah dengan mengacu kepada nama sahabat. Contoh kitab hadits model ini adalah Musnad Ahmad.
Sunan Abu Dawud sendiri terdiri dari 4.800 buah hadits. Akan tetapi, beberapa ulama mengatakan ada 5.274 hadits. Pendapat ini karena didasarkan pada seringnya Imam Abu Dawud mengutip hadits di tempat berbeda untuk menguatkan atau menjelaskan dari sebuah hadits.
Sunan Abu Dawud ini hanya memuat hadits marfu’ (hadits atau riwayat dari Nabi). Tidak ada riwayat mauquf (riwayat dari perkataan maupun perbuatan sahabat) atau riwayat maqtu’ (riwayat dari perkataan maupun perbuatan tabi’in). Menurut Imam Abu Dawud, hadits dapat dinamakan sunnah hanya karena riwayatnya dari Nabi Muhammad.
Dalam Sunan Abu Dawud ini tidak hanya berisi hadits yang berderajat shahih, tetapi juga memiliki kualitas lemah atau dha’if. Ada beberapa istilah dalam Sunan Abu Dawud untuk menilai sebuah hadits. Ada yang disebut dengan shahih, yakni hadits yang memenuhi syarat-syarat sebuah hadits (ketersambungan sanad, keadilan rawi, kedhabitan rawi, tidak ada cacat, maupun janggal). Selain shahih, ada ma yusybihu (menyerupai shahih). Hal tersebut mempunyai arti bahwa kualitas hadits itu di bawah shahih, tetapi ada riwayat atau pendapat yang menguatkannya. Istilah ini kemudian dikenal dengan shahih li ghairihi.
Kriteria lainnya adalah yuqaribuhu (mendekati hadits shahih). Di kemudian hari, para ulama menyebut hadits ini dengan istilah hadits hasan.
Istilah lain lagi adalah wahn syadid, yakni bahwa hadits dimaksud mempunyai kualitas sangat lemah. Terakhir, istilah kualitas hadits dalam Sunan Abu Dawud adalah shalih. Istilah terakhir ini menjadi perdebatan para ulama setelah Imam Abu Dawud. Perdebatan muncul karena Imam Abu Dawud menempatkan istilah hadits shalih ini pada hadits shahih, hasan, maupun dhaif. Sehingga, istilah ini dianggap tidak jelas kepada hadits mana derajat shalih ini dialamatkan.
Banyaknya istilah derajat hadits dalam Sunan Abu Dawud lebih disebabkan, pada saat itu, belum ada kesepakatan di antara ulama dalam menilai kualitas sebuah hadits. Kualitas hadits pada zaman Imam Abu Dawud hanya dibagi menjadi dua saja: shahih dan dhaif. Baru setelah era Imam Abu Dawud, terutama Imam al-Tirmizi, yang membagi hadits menjadi beberapa istilah yang jelas seperti shahih li zatihi, shahih lighairihi, shahih gharib hasan lizatihi, hasan lighairihi, hasan gharib, dan lain-lain.