REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Zhou Xiaoxuan secara terbuka menyatakan salah satu orang China yang paling dikenal meraba-raba dan menciumnya dengan paksa dua tahun lalu. Pernyataan itu memicu badai api di negara yang tidak menyebut pelecehan seksual sebagai pelanggaran hukum.
Pekan lalu, Zhou dan lusinan perempuan lain yang memulai gerakan #MeToo di China. Ini menjadi kemenangan kecil ketika parlemen negara memberlakukan undang-undang yang untuk pertama kalinya mendefinisikan tindakan yang pernah dialaminya sebagai pelecehan seksual.
Referensi dalam hukum perdata baru yang disetujui oleh sesi National People’s Congress pada Kamis (28/5) sebagian besar merupakan langkah simbolis. Meskipun memegang sekolah, bisnis, dan organisasi lain yang bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani pelecehan seksual, lembaga ini tidak menetapkan pedoman untuk penegakan.
"Hukum perdata adalah langkah besar. Tetapi masih banyak yang perlu disempurnakan," kata rekan senior di Pusat Paul Tsai Cina di Yale Law School, Darius Longarino.
Longarino menyatakan hukum pelecehan seksual di Amerika Serikat saja masih berkembang setelah beberapa dekade dan bergulat dengan kegagalannya. Kondisi ini yang juga sempat disinggung dengan gerakan #MeToo.
Tapi, beberapa pengacara dan aktivis mengatakan hukum perdata menawarkan pelecehan seksual sebagai pelanggaran hukum pertama kalinya secara nasional. Pasal 1.010 dari kode baru menyebut seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban "atas ucapan, kata-kata, gambar atau tindakan tubuh yang telah digunakan untuk melakukan pelecehan seksual terhadap keinginan seseorang".
Perkembangan itu dapat membuka jalan bagi perubahan lebih lanjut untuk memungkinkan korban pelecehan seksual mencari ganti rugi. Affairs Commission dan China State Council tidak menanggapi permintaan komentar tentang keputusan untuk mendefinisikan pelecehan seksual dalam kode sipil.
Gerakan #MeToo di China dimulai pada 2018 ketika seorang mahasiswa di Beijing secara terbuka menuduh profesornya melakukan pelecehan seksual. Langkah ini akhirnya menyebar secara luas ke lembaga swadaya masyarakat, media, dan industri lainnya.
Tuduhan Zhou terhadap tokoh TV yang terkenal bernama Zhu Jun adalah salah satu yang paling menonjol. Dalam serangkaian unggahan media sosial, dia menggambarkan insiden terjadi pada 2014 ketika dia masih magang yang bekerja untuknya di CCTV.
Zhoung menceritakan, Zhu mencoba menarik gaunnya dan menyeretnya lalu menciumnya dengan paksa. Tuduhan Zhou ini dengan cepat menjadi viral dan Zhu membantah tuduhan itu.
Beberapa aktivis dan pengacara berharap bahwa gerakan ini mulai akan mengarah pada perubahan nyata, dimulai dengan menyebutkan dalam hukum perdata. "Penyebaran MeToo telah membuat dorongan besar pada masalah hukum ini," kata Zhou.
Zhou menyatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. "Tapi ini mungkin sebuah proses, dan kamu tidak bisa menyelesaikannya dalam satu lompatan," ujarnya.
Lebih dari satu setengah tahun kemudian, tidak ada sidang dalam kasus Zhou yang diajukan pada September 2018. Sebagian besar kasus #MeToo di China tetap tidak terselesaikan.
Zhou mengajukan kasus pelecehan seksual yang dialami di bawah kategori "hak kepribadian". Kategori ini masuk dalam istilah luas dalam hukum China yang mencakup hak yang berlaku untuk tubuh dan kesehatan seseorang, karena pelecehan seksual tidak diakui sebagai penyebab tindakan yang sah.
Pelecehan seksual menjadi isu yang sensitif di China. Gerakan #MeToo, meskipun telah melakukan banyak aktivitas akar rumput, tetap saja menghadapi tekanan dan sensor pemerintah.