Rabu 03 Jun 2020 05:22 WIB

Jepang Lakukan Pengujian Covid-19 dengan Tes Air Liur

Jepang meningkatkan pengujian sebagai salah satu upaya mengendalikan wabah.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Sebuah spanduk imbauan agar orang-orang tinggal di rumah untuk menekan penyebaran COVID-19 dan pandemi coronavirus di kawasan pertokoan, Tokyo, Jepang, Senin (11/5). Awal bulan ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperpanjang keadaan darurat sampai akhir Mei 2020.
Foto: EPA-EFE/FRANCK ROBICHON
Sebuah spanduk imbauan agar orang-orang tinggal di rumah untuk menekan penyebaran COVID-19 dan pandemi coronavirus di kawasan pertokoan, Tokyo, Jepang, Senin (11/5). Awal bulan ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memperpanjang keadaan darurat sampai akhir Mei 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemerintah Jepang telah menyetujui adanya tes berbasis air liur untuk mendeteksi infeksi virus corona jenis baru (Covid-19), yang dianggap lebih aman dan mudah dibandingkan metode lainnya seperti swab pada Selasa (2/6). Negara Asia Timur itu dilaporkan tengah berusaha meningkatkan pengujian, sebagai salah satu upaya mengendalikan penyebaran wabah. 

Saat ini swab atau tes dengan metode usap hidung menjadi yang utama dilakukan di Jepang. Namun, cara itu dianggap kurang aman karena rentan membuat orang yang sedang menjalani pengujian bersin ataupun batuk dan berisiko mengenai petugas kesehatan, meski mengenakan alat pelindung diri secara lengkap.

Baca Juga

Tes berbasis air liur dapat dilakukan kepada orang-orang yang memiliki gejala Covid-19 selama setidaknya sembulan hari. Meski demikian, belum jelas berapa banyak perubahan akan meningkatkan kapasitas pengujian secara keseluruhan.

"Ini akan sangat mengurangi beban pada pasien dan juga beban yang datang dengan langkah-langkah pencegahan infeksi pada bagian dari lembaga pengumpulan sampel," ujar Menteri Kesehatan Jepang Katsunobu Kato mengatakan dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir The Strait Times, Selasa (2/6). 

Jepang berada jauh di belakang negara-negara industri lainnya dalam hal jumlah pengujian Covid-19. Para kritikus mengatakan rendahnya tingkat pengujian telah membuatnya sulit untuk melacak virus corona jenis baru, yang telah menyebabkan serangkaian kelompok infeksi di rumah sakit.

Pada 20 Mei, Jepang melakukan 3,4 tes reaksi rantai polimerase (PCR) per 1.000 orang. Universitas Oxford, Inggris melaporkan jumlah ini jauh dibandingkan Italia 52,5 dan 39 di Amerika Serikat (AS). Bahkan, Korea Selatan (Korsel) telah melakukan tes pada 15 orang per 1.000 orang.

Sementara dalam laporan media NHK, Jepang yang telah resmi mencabut status darurat nasional pada pekan lalu telah lolos dari wabah eksplosif, dengan hampir 17.000 infeksi dan 898 kematian akibat Covid-19. Meski demikian, risiko virus tetap mengancam, seperti halnya di negara lain mengingat pandemi yang belum berakhir. 

Kementerian Kesehatan mengatakan sekitar dua lusin alat tes yang berbeda, termasuk satu dari Takara Bio Inc, telah disetujui untuk tes PCR berbasis air liur. Saham Takara Bio kemudian dilaporkan melonjak 4 persen pada Selasa (2/6), mengungguli kenaikan 1,19 persen dalam rata-rata yang dilaporkan Nikkei.

Jepang telah mencatat 16.884 kasus Covid-19 dan 892 kematian hingga Selasa (2/6). Sementara, jumlah pasien yang dinyatakan pulih adalah 14.502 orang. 

Di Ibu Kota Tokyo, lebih dari 30 kasus Covid-19 terbaru dilaporkan pada Selasa (2/6) yang menandai pertama kalinya jumlah kasus harian mencapai 30 dalam 19 hari terakhir. Rumah Sakit Pusat Musashino di Tokyo barat mengatakan 12 pasien dan tiga pekerja rumah sakit telah dikonfirmasi terinfeksi virus corona jenis baru, sehingga jumlah total kasus di rumah sakit menjadi 31, membentuk kelompok infeksi terbaru.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement