REPUBLIKA.CO.ID, Lahir dan besar di lingkungan Kristen yang taat, tak membuat pemilik nama lengkap Abdullah Hakim Quick ini tumbuh sebagai pribadi yang fanatik. Justru dalam usia yang relatif muda, 17 tahun, saat ia dikader sebagai pastur dan rohaniawan ulung, daya kritisnya makin menguat.
Keingintahuannya terhadap teologi dan aspek-aspek ketuhanan kian membuncah. Quick mulai mempertanyakan tentang ibadah dan agama.
Sejumlah ritual keagamaan yang diselenggarakan pada saat itu mulai tidak masuk akal baginya. Banyak orang hanya menerima apa yang harus dilakukan sebagai pengikut agama. "Pertanyaan ihwal agama dianggap misteri begitu saja. Jadi, tidak perlu dijawab," katanya.
Kendati ia tidak mendapatkan jawaban memuaskan, hal ini tak menyurutkan rasa keingintahuan yang makin besar dalam diri Quick. Keingintahuan lebih banyak tentang agama dan konsep Tuhan membuat Quick berurusan dengan tumpukan buku, film dokumenter, dan ratusan informasi dari majalah atau koran.
Lokasi rumah Quick yang dekat dengan sejumlah universitas utama di Amerika Serikat menguntungkannya. Ia juga mendatangi Cambridge University untuk mencari lebih banyak buku.
Pria berdarah Afrika ini membaca buku tentang semua agama yang ada di dunia. Tidak hanya Kristen, tetapi juga agama lainnya.
Ia mencoba untuk mengenal dunia di luar Amerika, khususnya belajar tentang asal-usul nenek moyangnya dari Afrika. "Ketika itu, saya tahu tentang Kerajaan Mali. Sebuah kerajaan besar di Afrika yang memilih Islam sebagai agama utama," katanya.
Kisah ini membuat Quick penasaran tentang Islam. Pertanyaan yang muncul dalam benaknya, mengapa kerajaan besar memilih Islam sebagai landasan spiritualitas mereka.
Kenyataan ini membuat Quick mulai mempelajari Islam lebih jauh. Ia mulai mempelajari tentang Timur Tengah, sumber Islam dilahirkan. Timur Tengah bukan hal yang asing bagi Quick, tetapi saat itu ia tidak terlalu tertarik dengan negara-negara yang ada di sana.
Seiring waktu, Quick makin banyak mengenal Islam. Baginya, Islam agama yang sangat menarik. Islam tidak membeda-bedakan seseorang dari status, warna kulit, dan semua nilai sosial yang melekat di dalamnya. "Islam tidak mengenal perbedaan ras," ujarnya.
Pria berusia 67 tahun ini merasa takjub dengan kenyataan tersebut. Pasalnya, dengan kondisi di Amerika pada 1960-an, menjadi seorang Afrika-Amerika bagaikan sebuah kutukan.
Quick merasa kehidupan di Amerika tidak manusiawi bagi dirinya yang berdarah Afrika. Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke Toronto dan meninggalkan bangku kuliah. Saat itu imigran Muslim yang ada di Toronto tidak terlalu banyak.
Quick mulai belajar tentang Islam dari warga setempat. Ia juga pergi ke perpustakaan dan mulai membaca. Makin banyak ia membaca, makin ia menyadari bahwa mengajar adalah minat yang ada di dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Quick mengetahui bahwa Islam adalah agama yang hanya mengenal satu Tuhan. Allah SWT bertanggung jawab untuk keberadaan para nabi. Saat membaca hadits, ia terkesan dengan cara hidup Nabi Muhammad SAW yang penuh dalam bimbingan, disiplin, dan perdamaian. Akhirnya pada 1970 hidayah tak lagi bisa dibendung. Quick memutuskan untuk memeluk Islam.
Kini Quick selalu berdiri melawan rasisme dan etnosentrisme. Quick telah menjadi advokat untuk membela hak-hak perempuan dan mendorong pemberdayaan anak muda. Ia juga mendirikan lembaga pelayanan sosial pertama bagi umat Islam di Toronto, Kanada, yang bernama ISSRA.