REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Teguh Firmansyah, Elba Damhuri
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan termasuk pemimpin negara yang mampu berselancar dengan baik dalam berbagai krisis ekonomi.
Sejak terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Turki pada awal 2000-an, Erdogan bersama pemerintahannya dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) Turki mampu memberikan jurus-jurus jitu mengeluarkan Turki dari negara yang rapuh menjadi tangguh.
Pada 2001, Turki mengalami krisis ekonomi dalam. Pengangguran dua digit, hiperinflasi terjadi, dan pertumbuhan ekonomi berada pada titik terendah. Nilai tukar lira, mata uang Turki, sudah tidak ada artinya lagi.
AKP, partai yang didirikan Erdogan pada 2001, terus memenangkan pemilu sejak 2002. Selama 15 tahun Erdogan menjadi PM Turki dan kemudian menjadi presiden pada 2014 --ia menjadi presiden Turki pertama yang dipilih rakyat.
Sejak berkuasa pada 2003, Erdogan memulai reformasi ekonomi Turki dengan cara-cara yang tidak konvensional. Erdogan tidak mengikuti arus ekonomi yang dipakai banyak negara yang cenderung liberal, moneteris, dan menganggung-agungkan suku bunga bank.
Hasilnya, Erdogan mampu mengendalikan inflasi Turki, memperkuat lira, mengurangi pengangguran, dan mengangkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dari kontraksi.
Turki menjadi negara pengekspor dan industri yang kuat. Pada 2011, angka pertumbuhan ekonomi melonjak di atas 10 persen. Turki dijuluki sebagai 'Macan Baru' karena pesatnya pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara G20. Erdogan pun semakin populer.
Saat ekonomi Turki menghadapi resesi pada 2018 karena "perang Erdogan-Donald Trump", Turki pun mampu mengatasi gejolak itu. Ekonomi mulai membaik lagi, lira stabil dan menguat, sebelum datang pandemi virus corona yang berdampak besar terhadap ekonomi Turki dan seluruh dunia.
Jurus ekonomi Erdogan memang tidak biasa. Erdoganomics ini banyak mengambil prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam, terutama terkait masalah pemerataan dan kesenjangan.
Jika ekonomi konvensional menekankan pertumbuhan maka Erdoganomics melebarkannya pada keadilan, pemerataan, dan lawan kesenjangan --ketiga hal ini yang menurut peraih Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz gagal diberikan sistem ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi Islam adalah Solusi
Erdogan menaruh perhatian besar terhadap sistem ekonomi Islam. Buat Erdogan, prinsip ekonomi Islam ini lebih jelas, adil, dan berdampak besar.
Ekonomi Islam tidak fokus pada kebijakan suku bunga dalam membangun masyarakat. Karenanya, ketika Turki menghadapi resesi dengan inflasi hingga 24 persen, Erdogan menolak keras menaikkan suku bunga acuan perbankan --sesuatu yang wajib dilakukan bank sentral dalam prinsip ekonomi konvensional saat ini.
Sebagai contoh, pada krisis ekonomi 2018, untuk melawan inflasi bank sentral Turki menaikkan suku bunga. Yang terjadi, bukannya inflasi turun tetapi malah semain naik hingga menyentuh 25 persen pada Oktober 2018.
Erdogan meminta bank sentral menurunkan suku bunga dan jurus ini sangat ampuh dalam meredam inflasi yang kemudian turun hingga 15 persen.
Buat Erdogan, suku bunga bank yang tinggi --yang merupakan kebijakan moneter bank sentral-- adalah penyebab utama tingginya inflasi di Turki. Hingga saat ini Turki menerapkan kebijakan suku bunga rendah meski desakan untuk menaikkan itu tinggi.
Ekonomi Islan adalah solusi. Erdogan mengatakan sistem ekonomi Islam adalah kunci untuk keluar dari krisis. Dia menilai ekonomi global terus menderita karena dampak pandemi virus Corona ini.
Erdogan menjelaskan pedoman-pedoman Islam menawarkan kunci untuk keluar dari kesengsaraan ekonomi yang kini dihadapi dunia.
"Pendanaan berlebihan telah menciptakan model ekonomi yang membengkak, yang hanya bertindak atas kekhawatiran tentang pendapatan yang tidak diterima, tanpa mempertimbangkan biaya sosial dan manusia," demikian penjelasan Erdogan pada sebuah forum ekonomi, Ahad (15 Juni 2020).
Menurut Erdogan, konsep tersebut bertentangan dengan yang telah dijanjikan. Distribusi pendapatan dan kekayaan secara bertahap memburuk di seluruh dunia dan kesenjangan antara negara-negara melebar.
Dunia saat ini kehilangan hampir 440 ribu nyawa di seluruh dunia. Menurut Erdogan, ini tidak dapat dikaitkan dengan Covid-19 saja.
Dia mengatakan banyak negara memiliki sistem ekonomi yang hanya melindungi yang kuat dan kaya, karena di beberapa negara orang tanpa asuransi kesehatan dibiarkan mati.
Bahkan, menurut Erdogan, negara-negara yang paling makmur mengalami kesulitan dalam memberikan masker kepada warganya. Mereka pun tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan minimum.
Melihat kondisi ini, Erdogan melihat sudah waktunya perekonomian Islam tumbuh. "Kami bertujuan menjadikan Istanbul pusat keuangan dan ekonomi Islam," katanya.
Awal tahun ini, lembaga pemeringkat kredit Moody mengumumkan aset perbankan syariah Turki akan berlipat ganda dalam satu dekade. Hal ini karena inisiatif pemerintah Erdogan mendorong pertumbuhan di sektor untuk membuat Turki telah memposisikan diri menjadi pusat partisipasi perbankan dan keuangan Islam.
Erdogan mengklaim Turki adalah salah satu negara yang memerangi pandemi dengan kerusakan paling sedikit. "Selain memenuhi kebutuhan orang-orang kami sendiri, kami telah memberikan bantuan medis kepada 125 negara di seluruh dunia," katanya.
Tumbuh sebesar 4,5 persen pada kuartal pertama, Erdogan mengatakan Turki telah menunjukkan negara itu membedakan dirinya secara positif dari negara-negara lain. Kondisi ini tidak hanya berlaku di sektor kesehatan, tetapi juga dalam perekonomian.
Erdogan bersama Turki saat ini menghadapi tantangan serius dampak ekonomi pandemi covid-19. Perlahan tapi pasti, perbaikan ekonomi dengan konsep keadilan, pemerataan, dan anti-kesenjangannya itu, tampaknya ekonomi Turki akan kembali ke trek sebenarnya meski membutuhkan waktu.