REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO -- Ketika Rafaela Matos melihat helikopter polisi di atas favelanya dan mendengar suara tembakan, dia berlutut dan meminta Tuhan untuk melindungi putranya, Joao Pedro. Kemudian dia memanggil bocah itu untuk memastikan anaknya baik-baik saja.
"Tenang," Joao Pedro membalas, menjelaskan bahwa dia ada di rumah bibinya dan semuanya baik-baik saja, ujar Rafaela menceritakan ulang kisahnya.
Beberapa menit setelah Rafaela mengirim pesan, polisi menyerbu masuk dan menembak perut bocah berusia 14 tahun itu dengan senapan kaliber tinggi dari jarak dekat. Ayah Joao Pedro, Neilton Pinto, sedang menyajikan ikan di kios tepi pantai ketika mendengar helikopter. Pada saat dia tiba di tempat kejadian, polisi telah mengambil mayat remaja itu.
Polisi tidak pernah membawa Joao Pedro ke rumah sakit dan keluarganya memulai pencarian dengan panik. Rafaela menerima secercah harapan ketika dia melihat di teleponnya bahwa Whatsapp putranya aktif.
"Hai ... Hai ... Hai ... Hai ... Bicaralah padaku ...," tulis perempuan berusia 36 tahun itu ke kontak anaknya.
Tidak ada respons apa pun dari kontak Joao Pedro. Namun, sebuah gerakan pencarian menyapu media sosial dan tubuhnya dapat dilacak keesokan harinya berada di dalam sebuah lembaga forensik polisi.
Polisi Rio de Janeiro awalnya mengatakan, mereka mengejar penjahat dalam operasi bersama oleh petugas polisi sipil, militer, dan federal ketika menembak Joao Pedro pada 18 Mei. Jaksa penuntut federal, Eduardo Benones, menyatakan, padahal tidak ada tanda-tanda aktivitas ilegal di rumah kompleks favela Salgueiro.
Investigasi Benones berusaha meminta negara Brasil bertanggung jawab atas kematian Joao Pedro, menuduhnya terjadi dalam konteks rasisme institusional. Semua laporan deposisi dan saksi mata yang diperiksa Benones mengindikasikan bahwa Joao Pedro dan yang lainnya tidak mengancam petugas di tempat kejadian.
Joao Pedro Matos Pinto adalah satu dari lebih dari 600 orang yang terbunuh oleh polisi di negara bagian Rio de Janeiro pada bulan-bulan pertama tahun ini. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari total orang yang terbunuh oleh polisi selama periode yang sama di seluruh Amerika Serikat (AS), yang memiliki 20 kali lebih banyak dari populasi Rio.
Seperti Joao Pedro, kebanyakan dari mereka yang terbunuh di Rio berkulit berwarna atau birasial dan tinggal di lingkungan termiskin di kota itu atau dikenal dengan favela. Ketika gerakan Black Lives Matter membawa ratusan ribu orang ke jalan-jalan di seluruh dunia, para demonstran yang marah atas kematian Joao Pedro satu bulan lalu telah mengorganisir demonstrasi. Mereka menggugat kebrutalan polisi selama bertahun-tahun di jalanan Rio.
Tapi, protes tersebut tidak mendekati ukuran dan dampak publik dari negara lain. Bagi para pengunjuk rasa, perjuangan mereka untuk mendapatkan momentum cukup sulit. Padahal, Brasil lebih dari separuh penduduknya berkulit hitam atau birasial, dengan masalah kekerasan polisi yang jauh melampaui negara-negara lain.
"Mereka membunuh remaja satu ke remaja lain di rumah mereka setiap hari. Kita di sini karena kita perlu," kata mahasiswa teknik sipil berusia 19 tahun Joao Gabriel Moreira pada protes 10 Juni di Duque de Caxias, sebuah kota miskin di daerah metropolitan Rio.
Joao Gabriel mengatakan tidak pernah memprotes apa pun sebelum aksi tahun ini. "Bunuh seorang pria kulit berwarna muda di favela, itu terlihat seperti biasa, dia harus menjadi pengedar narkoba," kata Moreira.
Menurut Joao Gabrielm, rasisme selalu terselubung di Brasil. Kondisi ini membuat sedikit anak muda bertahan dan hanya sedikit yang menyadari masalah rasial yang sudah mengakar di negara tersebut.