REPUBLIKA.CO.ID, ADEN - Meskipun enam tahun mengalami perang dan kesulitan di Yaman, pengungsi Somalia Bader Hassan tetap bertahan dengan harapan untuk kehidupan yang lebih baik daripada di tanah kelahirannya. Namun, pandemi virus corona telah mendorongnya ke tepi bahaya, dan sekarang dia ingin keluar dari negara itu.
"Saya, istri, dan putra saya ingin tinggal di tempat yang baik, seperti orang lain," kata Hassan di Ibu Kota Sanaa.
Sebagai pengungsi, ia telah menjalani hidup di Yaman tanpa dukungan negara atau lembaga amal, katanya. Dia keluar dari sekolah lebih awal untuk mencari nafkah dan sekarang bekerja mencuci mobil di jalan.
"Tetapi bagaimana kita hidup sekarang ketika corona juga mematikan jasa cuci mobil?" ujar dia.
Terbagi antara otoritas Houthi di utara dan pemerintah Yaman di selatan, Yaman hari ini adalah tanah pengungsian dengan 80 persen populasi bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Satu dari setiap delapan warga Yaman telah telantar secara internal akibat konflik yang telah berlangsung selama enam tahun dan 280 ribu pengungsi asing juga tinggal di sana. Yaman menampung populasi pengungsi Somalia terbesar kedua di dunia.
Setelah pihak berwenang Houthi mengumumkan kasus virus corona pertama dengan penemuan warga negara Somalia meninggal dunia di sebuah hotel di Sanaa pada Mei lalu, para migran dan pengungsi Afrika semakin distigmatisasi, kata PBB dan para migran.
Ketegangan antara tuan rumah dan pengungsi dan komunitas migran atas sumber daya Yaman pada dasarnya rendah, tetapi hubungan itu menjadi tegang ketika kesengsaraan Yaman semakin dalam, kata Wakil Badan Pengungsi PBB (UNHCR) di Yaman Jean-Nicolas Beuze.
Di samping para pengungsi, sekitar 100 ribu migran juga tiba setiap tahun melalui laut dari kawasan Tanduk Afrika, berharap untuk melakukan perjalanan ke utara menuju Arab Saudi yang kaya dan seterusnya.
Sebagian besar migran berasal dari Ethiopia, merupakan korban perdagangan orang, penganiayaan, pemerkosaan, dan pencurian. Sama seperti para pengungsi, mereka sering tinggal berdampingan di kamp-kamp liar di kota-kota utama di Yaman.
"Ketika (migran dan pengungsi) mencapai kantor UNHCR atau mitra kami, mereka sering kali tanpa apa-apa, bahkan tanpa dokumen identitas," kata Beuze.
Seiring dengan meningkatnya kasus virus corona, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan para migran dipindahkan secara paksa dari daerah perkotaan ke lokasi yang sulit diakses, termasuk lebih dari 1.300 orang yang dipindahkan secara paksa dari utara ke selatan sejak akhir April.
Migran Ethiopia, Abdelaziz, datang melalui laut, tetapi mengatakan bahwa perjalanannya ke Saudi diblokir oleh otoritas utara.
"Ada 250 orang di antara kami dalam perjalanan laut dengan membayar 1.500 riyal Saudi (Rp 5,6 juta). Sekitar lima meninggal dunia," katanya dari taman pinggir jalan yang kosong di mana dia dan puluhan migran Afrika lainnya tidur di atas karton.
Dia sangat ingin pergi. "Kami tidak punya makanan dan minuman. Orang-orang lelah membantu kami," tutur Abdelaziz.