REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsud dan Pengasuh Pondok Pesantren Al Azhari, Banyumas
Kyai Saifuddin Zuhri, merupakan salah satu tokoh NU organisatoris yang rajin menulis. Sosok ini langka untuk kalangan NU. Kemampuan organisatorisnya dibuktikan dari jenjang ranting hingga menjadi Sekjen PBNU.
Saat itu NU sebagai partai politik. Beliau juga pejuang dan kyai kampung dalam arti kehidupan awalnya di kota Sokaraja, bukanlah disandarkan bahwa beliau adalah anak Kyai yang memiliki Pesantren besar. Hanya dari kakeknya, dikisahkan bahwa buyutnya adalah salah satu prajurit Diponegoro yang berperang di daerah Begelen.
Darah kejuangan inilah yang menempa kemampuan organisatorisnya sejak menjadi murid kyai setempat, seperti Kyai Syatibi hingga gurunya yang paling dikenang yaitu Ustadz Mursyid yang Syahid melawan Belanda pada agresi pertama tahun 1946. Tentu masih ada guru guru Kyai Saifuddin yang lain, termasuk belajar ke Mambaul Ulum di Solo selama 13 bulan.
Kemampuan organisatoris tersah sejak menjadi dai yang ditugaskan sayap pemuda NU (ANNO). Saat itu masih usia belasan (sekitar 14-15 tahun). Sembari belajar di SR dan sekolah Arab dan juga mengaji pada kyai-kyai setempat, kyai Saifuddin juga rajin menulis dan mengikuti perkembangan informasi dari koran-koran yang terbit saat itu. Hobi tersebut semakin diasah dengan menjadi koresponden beberapa surat kabar.
Kemampuan Kyai Saifuddin semakin terasah ketika belajar di Solo selama 13 bulan, yang mana saat itu beliau menjadi wartawan dalam rangka menunjang pembiayaan sekolah. Setelah dari Solo, kembali ke Sokaraja dan dipasrahi menjadi Sekretaris Konsul NU Banyumas (meliputi Purwokerto, Sokaraja, Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen). Hal itu dijalani sampai Jepang masuk ke Indoensia.
Peran Organisasi Anshor sebagai dijalani sebagai koordinator Anshor NU (ANNO) wilayah Banyumas. Saat itu berbareng dengan peran Sudirman di Pandu Muhammadiyah dan Suprapto yang aktif di organisasi partai Parindra. Sudirman kemudian dikenal sebagai Panglima TNI dan Suprapto adalah salah salah satu Pahlawan Revolusi.
Peran organisasi dijalankan sembari menjadi guru di sekolah (di Sokaraja dan Purwokerto) yang dijalani dengan menggunakan transportasi Sepeda. Termasuk pula dalam kunjungan ke cabang cabang NU di wilayah Banyumas saat akhir pekan. Dapat dibayangkan betapa gigihnya perjuangan aktifis kepemudaan dan ormas saat itu. peran beliau juga kemudian mendampingi KH Wahid Hasyim saat zaman Jepang untuk mengkoordinasikan Masyumi dalam lingkup Jawa. Perjalanan dengan Sepeda, dengan Kereta api yang penumpang dan berjam jam dilakukan dari Jawa Timur hingga Menes, Banten.
Daya tahan keorganisasi Kyai Saifuddin kembali teruji setelah Proklamasi kemerdekaan. Dalam posisi sebagai konsul NU wilayah Kedua, sebab saat itu telah tinggal di Purworejo dan ditunjuk menjadi kepala jawatan Agama Jawa Tengah masa Revolusi, dan juga salah satu komandan Hizbullah di wilayah Kedu, maka peran peran organisasi itu dijalankan dengan naik turun gunung, bergerilya dalam menghadapi agresi Belanda.
Setelah pengakuan kemerdekaan, Kyai Saifuddin ditunjuk sebagai kepala Jawatan agama Jawa Tengah yang berkedudukan di Semarang. Namun kemudian setelah NU keluar dari Masyumi dan juga dengan wafatnya KH Wahid Hasyim, beliau diminta hijrah ke Jakarta menjadi sekjen PBNU atau Partai NU mendampingi KH Idham Khalid dan dibawah arahan KH Wahab Chasbullah.Kyai Saifuddin juga menggantikan peran Zainul Arifin menjadi anggota Parlemen menyusul Zainal Arifin menjadi Wakil PM.
Tercatat peran Kyai Saifuddin yang banyak dikenal adalah menjadi menteri Agama di era Demokrasi Terpimpin masa Bung Karno (1962-1966), dan sekaligus pernah menjadi menteri Agama dalam kabinet Ampera dibawah pejabat Presiden Soeharto (1967). Setelah Orde Baru pernah menjadi anggota DPR dari fraksi NU hasil pemilu 1971.