Selasa 23 Jun 2020 13:06 WIB

Benih Padi Terakhir

Tangis-tangis perut lapar itu mulai meronta, menyayat hati siapa pun yang mendengar.

Benih Padi Terakhir (ilustrasi)
Foto: Rendra Purnama/Republika
Benih Padi Terakhir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Rahim

Malam hendak menyapa, rumah reot di pinggiran desa menjorok ke dalam hutan itu menjadi ramai. Suara tangis beberapa anak kecil makin jelas terdengar menyayat hati. Sesekali terdengar suara perempuan dengan lembut berusaha menenangkan tangisan itu. Sebentar reda tangis yang satu, lalu kembali lagi terdengar tangis yang lainnya. Dendangan dari perempuan itu juga mulai terdengar.

"Pait-pait rasan nasi', manis-manis buaq ara."*)

"Tidur anakku sayang, besok kita akan petik buah ara yang banyak di bawah tebing, supaya kau tidak lapar lagi."

"Mak, untuk apa padi yang digantung itu? Beberapa bagian sudah banyak yang rontok."

"Bapakmu sudah berpesan, padi itu nanti akan kita tanam jika musim hujan, dan ...."

Ia tak melanjutkan ucapannya.

"Dan apa, Mak?"

"Sudahlah, Nak, kamu tidur juga ya, malam makin larut. Kita harus mematikan lampu ini untuk menghemat minyak."

"Tapi Mak, bapak kan..."

Terdengar tiupan dari bibir ibunya, gelap menyelimuti.

Hanya suara napas dari anak-anak yang kelelahan menangis sedari malam belum gelap. Mereka pun larut dalam dengkuran, hening malam menyelimuti lima manusia di gubuk reot itu. Perempuan tua itu mendekap perut-perut lapar yang belum mengerti tentang apa yang mereka hadapi. Mereka hanya tahu supaya tidak lagi menangis karena lapar. Pun selalu bergembira ketika perempuan tua itu menyajikan makanan kesukaan mereka.

Bulir-bulir padi yang didapat dari tumpukan jerami sisa panen, dicampur biji jagung yang juga disusuri dari pohon-pohonnya yang lupa dipetik ketika panen. Itulah yang diurap dengan parutan kelapa, jika perempuan tua itu beruntung menemukan ada yang hanyut di parit-parit yang melingkari sawah tempatnya mengais bulir-bulir padi.

Namun, malangnya, tak ada lagi tumpukan jerami yang bisa dikais. Pundak legam yang menyembulkan tulang itu dihinggapi pikulan yang bebannya hampir menutupi semua tubuhnya.

Ikatan-ikatan padi yang belum dirontokkan dengan sigap ia pikul ke pinggir jalan, ditumpuk sebelum diangkut ke rumah pemilik sawah. Beberapa yang lainnya sibuk memukul batang-batang padi ke papan perontok.

Sejak Subuh ia membantu panen itu, disuruh oleh Haji Dahmur menyabit batang-batang padi, tetapi tidak untuk merontokkannya. Buruh lain yang lebih sigap diminta untuk merontokkan padi.

Hampir dua petak selesai ia potong, mereka diminta berhenti untuk menikmati sarapan yang dibawakan anak pemilik sawah. Para buruh makan bersama, pemilik sawah masih tetap berdiri di kejauhan menunggu mereka selesai menyantap.

Ia teringat perut-perut lapar yang ia tinggalkan masih lelap sebelum Subuh tadi. Ia hanya menyantap sedikit, lalu bergegas mencari daun pisang untuk membungkus bagiannya dan digantung di atas bale-bale tengah sawah itu. Sementara yang lain tetap dengan lahapnya menghabiskan bagian mereka.

Ia pun kembali melanjutkan menyabit batang-batang padi untuk genap dua petak yang harus segera ia selesaikan. Buruh yang lain tengah asyik mengepulkan asap dari pilinan tembakau. Hal yang sudah lama tak ia nikmati semenjak tak banyak yang panen dan tak banyak pula yang mengupah dengan uang.

Hari beranjak sore, ia dan para buruh lainnya sudah menyelesaikan tugas masing-masing di sawah Haji Dahmur. Bulir-bulir sudah dimasukkan ke dalam karung. Timbangan pikulan sudah disiapkan. Anak pemilik sawah bersiap sebagai tukang catat. Ia pun diminta menjadi pemanggul timbangan di sisi yang lain.

Karung-karung besar penuh bulir padi itu dipikul berdua, kaitan timbangan disusupkan ke tali yang melingkari karung. Buruh yang lainnya bertugas menyesuaikan batu pemberat di tongkat timbangan. Selesai itu, ia diberi dua ikat padi oleh pemilik sawah.

Matanya berbinar, mengucap terima kasih kepada pemilik sawah atas upah padi tersebut. Ia pun bergegas ke bale-bale tempat bungkusan daun pisangnya tergantung.

Semut begitu ramainya, membuat kesal hatinya. Ia pun membuka bungkusan daun pisang itu, menyingkirkan semut-semut yang masih berkerubung, lalu menggantinya dengan daun pisang yang lain. Isinya sudah tercium agak berbeda, ia tak peduli. Bungkusan itu pun digantung di pikulan antara dua ikat padi upahnya hari itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement