Rabu 24 Jun 2020 05:34 WIB

Jenderal 'Tengkorak' dan Anak Cijantung Gapai Bendera TNI

Tak banyak perwira komando yang berhasil menjadi jenderal, siapa saja yang berhasil?

Personel Komandu Pasukan Khusus (Kopassus) menunjukkan demo keahlian dalam perayaan HUT ke-67 Kopassus di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta pada 2017 (ilustrasi).
Foto: Republika/ Wihdan
Personel Komandu Pasukan Khusus (Kopassus) menunjukkan demo keahlian dalam perayaan HUT ke-67 Kopassus di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta pada 2017 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

“Tengkorak…tengkorak… tengkorak…” begitulah teriakan para prajurit sembari tepuk tangan berirama. Tepatnya di Desa Sirnabaya, Kecamatan Teluk Jambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Mereka menyambut kedatangan seorang tamu. Pria kurus, berkulit sawo matang, beralis hitam tebal, dan berkumis hitam tebal. Suasana agak tegang, setelah sang tamu meminta sambutan gegap gempita dihentikan.

Saat sambutan, ia menyelipkan kalimat yang membuat suasana menjadi tegang. “Mentang-mentang saya kurus. Menyambut saya dengan teriakan tengkorak… tengkorak… tengkorak…” Suasana pun sekejap tegang.

Siapakah tamu istimewa tersebut? Dia adalah Jenderal TNI Edi Sudradjat, kepala staf Angkatan Darat (KSAD) era 1988-1993. Edi seperti menunjukkan jenderal yang sedang marah. Para tamu, berdiam. Menunggu kalimat selanjutnya. “Sudah…sudah … jangan tegang,” kata Edi tersenyum. Ia sedang bergurau.

Edi Sudradjat mengunjungi markas Batalyon Infanteri Lintas Udara (Yonif Linud) 305/Tengkorak, Kostrad, pada tahun 1990-an. Satuan ini awalnya berada di bawah Kodam Siliwangi. Batalyon ini menggunakan lambang tengkorak. Berada di bawah Brigif Linud 17 Kostrad. Salah satu brigade terbaik yang dimiliki TNI Angkatan Darat (AD).

Kini satuan itu menjadi Yonif Para Raider 305/Tengkorak. Merupakan salah satu dari tiga Batalyon Linud di Brigade Infanteri (Brigif) Linud 17/Kujang I, Divisi Infanteri 1/Kostrad. Satuan pemukul reaksi cepat ini memiliki motto: 'Daripada menyerah, lebih baik mati bercermin sebagai tengkorak'.

KSAD era 2002-2005 dan menteri pertahanan (menhan) era 2014-2019, Jenderal TNI (Purnawirawan) Ryamizard Ryacudu pernah menjadi komandan Yonif 305 pada 1990-1993. Sebagai komandan pertama batalyon ini adalah Mayor (Infanteri) Mung Parhadimulyo pada 1949-1953.

Dia kelak menjadi komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 1958-1964. Mung dilantik saat operasi militer di Manado pada 3 Agustus 1958. Memimpin Resimen Tim Pertempuran (RTP)-1 untuk merebut Kota Tondano.

Ia pula yang mengubah baret RPKAD dari warna cokelat seperti baret artileri menjadi baret merah. Pada masanya pula ia mengubah dari loreng pasukan komando Belanda menjadi loreng darah mengalir. Itulah pakaian dinas lapangan (PDL) yang digunakan personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saat ini.

Sama halnya dengan Mung Parhadimulyo, Edi Sudrajat adalah personel pasukan khusus. Ia perwira komando pertama dari abituren Akmil yang berhasil meraih jenderal bintang empat. Hanya beberapa perwira komando yang berhasil meraih pangkat jenderal bintang empat dalam 68 tahun keberadaan Kopassus.

Mereka adalah:

1. Jenderal TNI Widjoyo Sujono sebagai Kaskopkamtib pada 1982.

2. Jenderal TNI LB Moerdani sebagai Pangab/Pangkopkamtib pada Maret 1983. 

3. Jenderal TNI Edi Sudrajat sebagai KSAD pada Februari 1988.

4. Jenderal TNI Feisal Tanjung sebagai Pangab/Kabakorstanas pada Mei 1993.

5. Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar sebagai KSAD pada Oktober 1993.

6. Jenderal TNI Kehormatan (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo, mantan dubes RI untuk Korea Selatan, pada November 1997. Sarwo Edhie wafat pada 9 November 1989. 

7. Jenderal TNI Subagyo HS sebagai KSAD pada Februari 1998. 

8. Jenderal TNI Kehormatan (Purnawirawan) Agum Gumelar sebagai menteri perhubungan pada November 2000.

9. Jenderal TNI Kehormatan (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri perindustrian dan perdagangan pada November 2000,

10. Jenderal TNI Kehormatan (Purnawirawan) AM Hendropriyono sebagai kepala BIN pada Oktober 2004.

11. Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo sebagai KSAD pada Juli 2011.

12. Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai KSAD pada November 2018.

Tujuh lulusan Akmil

Letda (Infanteri) Edi Sudradjat, abituren Akademi Militer (Akmil) Magelang 1960. Ia. merupakan generasi kedua pasukan komando yang berasal dari lulusan Akmil. Generasi pertama adalah abituren Akmil 1948, Lettu (Infanteri) Seno Hartono. Terakhir Letjen TNI.

Bersama Edi, saat itu hanya ada tujuh orang abituren Akmil yang lulus pendidikan komando, RPKAD. Bersama Edi Sudrajat yang lulus, antara lain: Letda (Zeni) Samsuddin, Akmil Bandung 1959; Letda (Infanteri) Feisal Tanjung, dan Letda (Infanteri) Kentot Harseno dari Akmil Magelang 1961. Mereka lulusan pendidikan komando tahun 1963-1964.

Generasi selanjutnya, seperti: Letda (Infanteri) Raja Kami Sembiring Meliala (Akmil Magelang 1960), dan Letda (Infanteri) Sutedjo (Akmil Magelang 1961). Kemudian Letda (Zeni) Arie Sudewo dari Akmil Bandung 1962. Termasuk abituren Akmil Magelang 1963, yakni; Letda (Infanteri) Sintong Panjaitan, Letda (Infanteri) Wismoyo Arismunandar, Letda (Infanteri) Kuntara (ejaan yang disempurnakan: Kuntoro), dan Letda (Infanteri) Basofi Sudirman. Mereka lulusan pendidikan komando tahun 1964-1965.

Selain menempuh pendidikan komando AD, pada 1961 sudah ada dua orang abituren Akmil Bandung mengikuti pendidikan Korps Komando (KKO) Angkatan Laut. Mereka pindah ke Angkatan Laut menjadi perwira KKO, yakni Lettu (Zeni) TGM Harahap (Akmil Bandung 1956), dan Letda (Zeni) Sujono.

Sujono merupakan lulusan terbaik Akmil Bandung 1959. Teman satu leting Letda (Zeni) Samsudin dan Letda (Zeni) Try Sutrisno. Mereka mendapatkan tugas membentuk Batalyon Zeni KKO/Marinir. Try tidak mengikuti pendidikan komando, dia dinas pertama di Yonzikon 12 Caduad/Kostrad di Palembang.

Sebelum menjalani pendidikan komando RPKAD, mereka harus mengikuti seleksi latihan komando terlebih dahulu di Cijantung. Saat itu komandannya Kolonel (Infanteri) Mung Parahadimulyo. Dijuluki 'si raja tega'. Mung yang langsung memimpin seleksi latihan komando di hutan Cijantung, Jakarta Timur.

Banyak yang berguguran dan terpaksa harus dikembalikan ke kesatuan awal. Salah satunya Letda (Infanteri) ZA Maulani, lulusan terbaik Akmil Magelang 1961. Maulani tidak bisa melanjutkan pelatihan prakomando di Batujajar. Total hanya tujuh orang dari gabungan abiruren Akmil 1959 hingga 1961 yang bisa melanjutkan latihan prakomando di Batujajar, Bandung.

Mereka bergelimpangan 'disiksa' Kolonel Mung. Mung yang sudah berusia 40 tahun lebih, berhadapan dengan anak-anak muda abituren Akmil berusia 25 tahunan. “Saya sudah 40 tahunan, masak kalian kalah dengan saya,” kata Mung, seperti diungkapkan Feisal Tanjung kepada penulis dan kawan-kawan saat membuat buku biografinya tahun 1999.

Total hanya 10 perwira, tujuh di antaranya lulusan Akmil yang lolos untuk mengikuti latihan prakomando. Sudah menunggu komandan pendidikan komando, Letkol (Infanteri) Sarwo Edhie Wibowo. “Tidak boleh mengeluh dan tidak boleh membantah,” kata Sarwo, singkat. Ia antara lain didampingi pelatih, Mayor (Infanteri) Seno Hartono, dan Mayor (Infanteri) Kosasih yang berdiri di belakang Sarwo.

Sadis

Mereka pelatih generasi pertama RPKAD hasil gemblengan Mayor (Infanter) Muhammad Idjon Djanbi. Latihan prakomando merupakan latihan pengenalan. Para siswa memperoleh pelajaran teori dan ketrampilan dasar komando. Diajarkan cara menembak, taktik, dan teknik bertempur prajurit komando. Termasuk operasi raid (perebutan cepat), serangan komando, navigasi darat, bayonet hand, dan sebagainya. Serta latihan hutan, gunung, dan rawa laut.

Keberanian menghadapi tantangan, keyakinan untuk bisa mengatasi masalah, kekuatan menghadapi musuh, dan semangat untuk menang. Itulah tuntutan bagi setiap prajurit komando yang harus mampu beroperasi di ketiga matra sekaligus, darat, laut, dan udara. Latihan prakomando diakhiri dengan long march dari Batujajar ke Cilacap.

Selama empat hari mereka berjalan kaki tanpa henti di bawah pengawasan ketat para pelatih. Pada tahap ini ada beberapa orang yang tidak bisa melanjutkan, karena tidak kuat. Dari 10 perwira yang ikut prakomando, hanya tujuh orang yang lanjut ke latihan komando. Di antaranya Samsudin, Edi Sudradjat, Feisal Tanjung, dan Sutedjo.

Selesai? Belum. Mereka pun harus balik lagi ke Batujajar untuk mengikuti pendidikan komando yang sebenarnya. Kali ini, tujuh perwira pun bergabung dengan bintara dan tamtama. Total ada 100 calon komando. Mayoritas siswa dari korps Infanteri. Selanjutnya Zeni, Perhubungan (komunikasi elektro), Peralatan (teknik mesin), dan Kesehatan. Hanya lima korps saja.

Tidak ada pangkat di sini. Penguasanya adalah para pelatih. Walau perwira, harus tunduk pada pelatih yang pangkatnya cuma sersan. Menunya pun sama dan harus diulang dari nol. Gemblengan fisik, kesehatan, stamina, maupun daya tempur dan aspek-aspek kesamaptaan jasmani dan lain-lain, kembali diuji. Seleksi diulang kembali. 

Tidak ada lagi teori dalam kelas. Semuanya berada di lapangan. Pertama tahap basis (pembentukan). Kedua, tahap hutan gunung. Mereka ditempa di bukit berbatu, tebing nan tinggi dan curam di Citatah, Jawa Barat. Gunung Tangkuban Perahu serta hutan dan rimba. Ketiga, tahap rawa dan laut untuk meningkatkan kemampuan tempur.

Pada saat itu, pelatih yang paling ditakuti adalah Mayor (Infanteri) Kosasih. Mayor Kosasih dikenal sadis dan tidak berperikemanusiaan. Walau mungkin maksudnya baik untuk membentuk prajurit komando yang tangguh.

“Begitu berat dan kerasnya latihan komando, banyak yang rusak tubuh atau fisiknya sebelum digunakan untuk operasi militer. Bahkan ada juga yang cacat, padahal baru tahap latihan,” kenang Feisal Tanjung, menyesalkan.

Usai latihan tahap gunung hutan kembali longmarch dari Bandung ke Cilacap untuk memasuki tahap rawa laut di sekitar Cilacap dan Pulau Nusa Kambangan. Yang paling menantang ketika harus membidik sasaran musuh melalui sela-sela akar pepohonan di rawa, sambil berlatih menyergap musuh.

Latihan laut menggunakan perahu karet menembus derasnya ombak pantai selatan Cilacap. Melakukan serangan pantai. Termasuk dilatih navigasi laut, survival laut, pelolosan, renang ponco di laut, dan ketrampilan-ketrampilan lainnya di medan bervariasi. Latihan terakhir adalah skenario merebut objek strategis dam menguasai alun-alun Kota Cilacap dari kekuasaan musuh.

Pertempuran kota dalam waktu singkat melalui serangan fajar. Itulah…. Komando panji buana. Abdi nusa dan bangsa. Berpedoman satya dharma. Tribuana chandraca. …Prajurit para komando Indonesia.

Perwira alis tebal

Sekitar 25 hingga 30 tahun kemudian, mereka yang mengikuti pendidikan komando RPKAD, sudah menjadi perwira tinggi. Secara kebetulan, sejumlah perwira komando itu memiliki satu kesamaan, yakni memiliki alis yang tebal. Baik Samsudin, Edi Sudradjat, Raja Kami Sembiring Meliala, Feisal Tanjung, Wismoyo Arismunandar, dan Sintong Panjaitan.

Pada pertengahan era 1980-1990-an. Sejumlah jenderal dari pasukan komando menjadi perhatian khusus. Mereka diwakili dari lulusan Akmil Bandung dan Magelang tahun 1959 hingga 1963.

Abituren Akmil Bandung 1959, Mayjen TNI Samsudin. Ia mengawali dinas militer sebagai komandan peleton (danton) di Yonzikon 13 Caduad/Kostrad di Jakarta. Akmil Magelang 1960, Jenderal Edi Sudrajat. Ia mengawali dinas militernya sebagai danton di Yonif 515 di Jember. Termasuk Mayjen Raja Kami Sembiring Meliala.

Dari Akmil Magelang 1961, Jenderal Feisal Tanjung, Letjen Kentot Harseno, dan Mayjen Sutedjo. Feisal Tanjung mengawali karier sebagai danton di Yonif 152 di Ternate, Maluku. Hal yang sama dialami abituren Akmil Bandung 1962, Letjen Arie Sudewo. Awok panggilan akrabnya, mengawali dinas militer sebagai danton di Yonzipur 1 Medan.

Kemudian Akmil Magelang 1963; Jenderal Wismoyo Arismunandar, Letjen Kuntara, dan Letjen TNI Sintong Panjaitan. Sintong mengawali dinas militer sebagai danton Yonif 321 Kostrad. Ada pula pelantun lagu dangdut 'Tidak Semua Laki-Laki', yaitu Mayjen Basofi Sudirman.

Dari nama-nama tersebut, Arie Sudewo pernah menjadi komandan Yonif 305/Tengkorak. Unik, baik Samsudin maupun Arie yang berasal dari korps Zeni bisa menduduki pos Infanteri. Sebagai prajurit komando, mereka diizinkan memiliki; dua korps. Bahkan usai menjadi panglima Kodam Lambung Mangkurat, Kalimantan Tengah, Samsudin menjadi komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif) pada 1985-1987.

Sebenarnya hal yang biasa saja seperti di AD Amerika Serikat. Contohnya Jenderal Besar Douglas MacArthur yang berasal dari korps Zeni. Ia bisa menjadi komandan Brigade Infanteri serta panglima Divisi Infanteri.  

Mayjen Samsudin menggantikan Mayjen Feisal Tanjung sebagai komandan Pussenif 1983-1985. Mayjen Samsudin kemudian digantikan Mayjen Sintong Panjaitan 1987-1988.  Mayjen Mung Parahadimulyo pun pernah menjadi komandan Pussenif pada 1970-1971. Begitulah sebagai jenderal dari pasukan komando, mereka saling bergantian menduduki posisi strategis TNI. Namun, akhir karier militer mereka berbeda-beda.

Tiga jabatan strategis

Dari nama-nama jenderal dari pasukan komando itu, Jenderal Edi Sudradjat memiliki prestasi puncak yang tidak akan pernah bisa disamai oleh siapa pun di era saat ini. Pada 1993, ia merangkap tiga jabatan paling strategis di lingkungan TNI. Awalnya, usai menjadi Wakil KSAD, jenderal 'tengkorak' itu naik menjadi KSAD.

Lulusan terbaik Akmil Magelang 1960 itu menggantikan Jenderal Try Sutrisno (Akmil Bandung, Zeni 1959). Sedangkan lulusan terbaik Akmil Bandung Zeni 1960 adalah Sudibyo. Terakhir Letjen sebagai kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Edi menjadi KSAD selama lima tahun lebih satu bulan. Tepatnya 2 Februari 1988 hingga 23 Maret 1993.

Urang Sunda kelahiran Jambi 1938 itu, jelang pensiun diangkat menjadi panglima ABRI (TNI/Polri) pada 19 Februari 1993. Satu bulan kemudian, dia juga dilantik menjadi Menhankam pada 17 Maret 1993. “Gile bener,” istilah orang Betawi. Edi sangat 'berkuasa' menduduki tiga jabatan sekaligus.

Namun, satu persatu jabatannya digantikan juniornya sesama pasukan komando. Diawali pada 23 Maret 1993, Edi kala itu berusia 55 tahun kurang satu bulan. Ia digantikan Letjen Wismoyo Arismunandar (53 tahun). Dua pekan berikutnya, terjadi kejutan lagi. Posisi Edi sebagai panglima ABRI digantikan Letjen Feisal Edno Tanjung. Lebih dikenal sebagai Feisal Tanjung (53 tahun 10 bulan).

Sebelumnya, Tanjung menduduki posisi orang nomor dua di Mabes ABRI, yakni kepala Staf Umum ABRI. Saat itu memang belum ada aturan jabatan panglima TNI diperuntukkan bagi jenderal yang pernah menjadi kepala staf angkatan (AD, AL, AU).

Pada 1 Mei 1993, Edi pun resmi pensiun dari dinas militer. Jabatannya tinggal menteri pertahanan dan keamanan (menhankam) selama lima tahun; 17 Maret 1993 hingga 14 Maret 1998. Jenderal tempur ini pun tidak lagi menggunakan seragam militer, Edi lebih banyak menggunakan pakaian safari.

Bersambung...

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement