Kamis 25 Jun 2020 04:01 WIB

Mengenal Ilmu Usul Fiqih

Seorang Muslim harus memahami landasan hukum dari sebuah ibadah.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Mengenal Ilmu Usul Fiqih. Foto: Fikih atau Fiqih Islam (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Mengenal Ilmu Usul Fiqih. Foto: Fikih atau Fiqih Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam dewasa ini sering kali menemukan perbedaan pandangan para ulama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi umat (khilafiyah). Sebenarnya, hal yang sama juga terjadi pada masa sahabat Rasulullah SAW, para tabiin (orang yang hidup sesudah generasi sahabat), tabiit-tabiin (pengikut tabiin), dan ulama-ulama lainnya.

Dalam mengajukan argumentasi permasalahan tersebut, para ulama menggunakan dalil dan dasar hukum yang sama. Misalnya, dalam memahami konsep istithaah (mampu) dalam berhaji, cara berwudhu, niat dalam shalat, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya.

Baca Juga

Mengapa bisa terjadi perbedaan itu? Bahkan, hingga ada yang saling membid'ahkan, mengafirkan, dan sebagainya. Di antara mereka, ada pula yang memisahkan dari kelompok lainnya.

Namun, perbedaan pandangan atau pendapat itu justru memperkaya khazanah intelektual umat Islam untuk saling memahami munculnya perbedaan itu.

Pangkal muara perbedaan dari semua itu bukan karena kesalahan para ulama dalam menerjemahkan redaksi dasar dalil yang dijadikan sumber hukum, baik Alquran maupun hadis, melainkan perbedaan dalam memahami dan maksud dari dalil tersebut. Di samping itu, perbedaan ini disebabkan masalah politik, perbedaan dalam menggunakan kaidah usul fikih, atau karena tidak sampainya suatu riwayat atau hadis kepada ulama atau mujtahid bersangkutan.

Bagi mereka yang mau mengambil hikmahnya, perbedaan itu justru sangat besar manfaatnya bagi umat Islam. Sebab, mereka makin mengetahui metode atau cara para mujtahid (orang yang menggali hukum Islam) dalam menetapkan hukum fikih.

Lalu, apakah sebenarnya metode hukum Islam (usul fikih) itu? Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama asal Mesir dalam bukunya Ushul Fiqih mengemukakan, metode hukum Islam disebut juga dengan usul fikih. Ilmu usul fikih adalah ilmu yang menguraikan metode atau cara yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar'i dari nash-nash Alquran ataupun hadis. Berdasarkan nash itu pula, para ulama mengambil illat (alasan) yang menjadi landasan hukum untuk kemashlahatan umat.

''Ilmu usul fikih memiliki peran penting dalam memengaruhi pembentukan pemikiran fikih,'' jelas Abu Zahrah.

Adapun ilmu fikih adalah suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syara (seperti wajib, sunah, makruh, halal, haram, dan mubah/boleh) mengenai perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci dalam nash Alquran dan hadis Nabi SAW. Ada pula yang menambahkannya dengan dalil-dalil atau pendapat (ijtihad) dari para ulama, seperti ijmak dan qiyas.

Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa usul fikih adalah sebuah metode yang ditempuh para ulama (ahli ijtihad) dalam menetapkan hukum-hukum syara yang dilakukan oleh seorang mukalaf (sudah dewasa atau orang yang sudah dibebani hukum), tentang halal, haram, wajib, sunah, atau makruhnya suatu perbuatan. Sedangkan, fikih adalah hasil dari hukum-hukum syar'i dari metode yang digunakan itu.

Misalnya, seorang Muslim diwajibkan berpuasa. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah Albaqarah [2]: 183-186. Dasar dari kewajiban shalat antara lain adalah surah Arrum: 31, Almujadalah: 13, dan Almuzammil: 20. Dasar larangan meminum khamar (yang memabukkan) adalah Almaidah ayat 90.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, hal itu menjadi pedoman bagi umat dalam melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah SWT.

Dengan mengetahui dalil-dalil tersebut, kata A Hanafie dalam bukunya Usul Fiqh, umat akan menjadi seorang pengikut yang baik karena memahami apa yang diikutinya (ittiba'). Sehingga, mereka tidak menjadi seorang Muslim yang sekadar ikut-ikutan (muqallid) tanpa mengetahui dasar hukumnya (taklid buta, yang penting ikut apa kata mereka, atau pokoknya kata si A, B, C, dan lainnya).

Wajib bermazhab?

Bagaimana bila umat tersebut tak mampu melakukannya secara sendirian? Bolehkah ia mengikuti pendapat atau mazhab tertentu? Sebagian kalangan ada yang melarang keras bermazhab, bahkan ada yang antimazhab. Namun, sebagian lainnya membolehkan ketika umat memang tidak mampu melakukan penggalian terhadap hukum Islam.

Karena banyaknya umat Islam yang tak mampu dalam melakukan hal tersebut, Anas Thohir Syamsuddin pernah menulis, "Bermazhab dalam arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam mujtahid, seperti Malik, Syafii, dan lainnya, itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam yang belum mampu melakukan ijtihad." Wallahualam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement