REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) tercatat mempunyai ceruk utang yang besar untuk bisa bertahan hidup. Pilihan utang ini diambil karena penjualan listrik tak mampu menutupi kebutuhan operasional PLN.
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menjelaskan, saat ini PLN memang mengharapkan pencairan dana kompensasi dari pemerintah. Pasalnya, tanpa dana itu, PLN tak bisa menjaga kondisi perusahaan yang makin tergerus dengan beban usaha. Jika tak ada pencairan dana tersebut, PLN hanya bisa bergantung pada utang.
"Untuk menutupi kekurangan, kami pakai pinjaman," ujar Zulkifli di DPR, Kamis (25/6).
Meski tak memerinci berapa besar beban utang, Zulkifli menjelaskan, saat ini posisi keuangan PLN dijaga dengan beberapa lubang utang. Langkah ini diambil perusahaan untuk menjaga likuiditas perusahaan.
"Secara keuangan, kami kerja sama dengan Bank Himbara untuk commited facility sebesar Rp 28 triliun. Kami juga mencadangkan di money market Rp 7 triliun dan kami rencakan upsize menjadi Rp 15 triliun sampai Rp 20 triliun," ujar Zulkifli.
Tak hanya itu, saat ini perusahaan sedang mengkaji kemungkinan mengambil pinjaman internasional untuk menambah likuiditas perusahaan. "Pinjaman internasional juga kami pertimbangkan untuk stabilitas perusahaan, juga pinjaman jangka panjang," ujar Zulkifli.
Sepanjang kuartal I 2020, PLN tercatat mampu membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 72,7 triliun. Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, mayoritas pendapatan usaha PLN disokong oleh penjualan tenaga listrik yang mencapai Rp 70,24 triliun.
Meski begitu, pendapatan PLN tak mampu menutup beban utang. Pasalnya, pada kuartal pertama saja beban usaha PLN membengkak signifikan, bahkan lebih besar daripada capaian pendapatan. Beban usaha perusahaan pada tiga bulan pertama tahun ini tercatat sebesar Rp 78,8 triliun.