REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seseorang membaca buku The Missing Martyrs : Why They are So Few Muslim Terrorists karya Charles Kurzman. Buku tersebut menurutnya sangat berlawanan dengan intuisi dan karena itu dianggap sangat penting.
Dilansir dari Patheos pada Jumat (26/4), Profesor Kurzman merupakan penyusun dan editor dari antologi Islam Liberal. Dia menggunakan istilah liberal bukan dalam artian perselisihan Amerika kontemporer antara Demokrat dan Republik tetapi dalam pengertian lama, liberalisme klasik.
Dalam bukunya, Kurzman mengatakan, kebanyakan Muslim kurang tertarik pada revolusi Islam dibandingkan Islam liberal. Islam liberal di sini, yang dia maksud adalah gerakan-gerakan yang mendukung cita-cita utama tradisi liberal Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan sosial, dan toleransi. Tetapi ketika dia mengedit antologi para pemikir Muslim liberal yang cukup berpengaruh satu dekade lalu. “Beberapa teman saya bercanda bahwa ini akan menjadi buku pendek,” tulis dia.
Dia mengatakan, hampir setiap masyarakat Muslim di seluruh dunia telah menghasilkan pemikiran Islam liberal yang signifikan, bersama dengan gerakan sosial dan politik yang bertujuan untuk mengubah ide-idenya menjadi kenyataan. “Tidak semua gerakan itu menyebut diri mereka liberal pada kenyataannya.”
Dia mengatakan, terlepas dari label apa yang diterapkan padanya, gerakan Islam liberal ini telah aktif selama lebih dari satu abad dan telah mengalami kebangkitan kembali selama dua dekade terakhir. Mereka mewakili tantangan signifikan bagi teroris Islam, yang membenci mereka karenanya.
“Ini sangat penting. Tetapi seharusnya tidak ada keraguan bahwa pertempuran sedang berlangsung di dalam Islam, dan bahwa kekuatan illiberalisme tidak boleh dianggap enteng. Saya tidak pernah melupakan kasus ini sejak pertama kali mendengarnya,” ujar seseorang tersebut yang mengutarakan pendapatannya.
Seperti diungkapkan dalam bukunya Kurzman, kasus saat pernyataan Nasr Hamid Abu Sayd terhadap Alquran yang sangat kontroversi dan mendapatkan kecaman dunia.
“Dalam sebuah kasus yang cukup terkenal, seorang sarjana Islam liberal terkemuka di Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, hingga kemudian putusan pengadilan menyatakannya sebagai orang murtad.”
Abu Zayd, seorang profesor di Universitas Kairo, telah menulis beberapa buku yang menganalisis bahasa dan interpretasi Alquran. (Dia) berpendapat bahwa wahyu adalah subjek interpretasi manusia pada saat itu diungkapkan kepada manusia, dan bahwa upaya untuk mengklaim interpretasi tunggal yang otoritatif tidak lebih dari permainan kekuasaan. Sekelompok pengacara Islam berpendapat bahwa posisi ini merupakan kemurtadan, mengutip kritik terhadap karya Abu Zayd oleh beberapa ulama Islam.
“Banyak kritik yang dialamatkan kepada. Beberapa di antaranya menyebutkan Abu Zayd adalah bodoh dan beberapa yang lain mengebut Abu Zayd adalah AIDS budaya dan terorisme intelektual.”
Dia menjelaskan, bonis pengadilan terhadap Abu Zayd ternyata mempengaruhi pernikahannya. Pengadilan membatalkan pernikahan Abu Zayd, dengan alasan bahwa seorang perempuan Muslim tidak diizinkan menikahi laki-laki non-Muslim. Untuk tetap mempertahankan pernikahannya, Abu Zayd dan istrinya beremigrasi ke Eropa, di sana mereka memegang posisi di universitas yang bergengsi.
“Satu komplikasi lebih lanjut yang saya pikir saya ingat dari bacaan pertama saya tentang kasus ini: Setelah Profesor Abu Zayd dinyatakan kafir dan murtad, pernikahannya secara otomatis, ipso facto, batal demi hukum, karena ilegal bagi seorang perempuan Muslim untuk menikah seorang laki-laki non-Muslim. Kemudian, jika mereka terus hidup bersama, mereka akan bersalah karena perzinaan, yang akan membuat mereka layak mati,” ucapnya.
Sumber: https://www.patheos.com/blogs/danpeterson/2020/06/liberal-islam-and-illiberal-islam.html