REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan telekonferensi akhir pekan lalu untuk membahas situasi di Libya. Kedua negara itu diketahui mendukung Libyan National Army (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar.
Saat membuka pertemuan itu, Putin mengutarakan penyesalan karena dia tak dapat melakukan pembicaraan tatap muka dengan Macron. Hal itu disebabkan masih berlangsungnya pandemi Covid-19. Namun Putin tetap mengundang Macron untuk datang ke Moskow.
Undangan itu pun diterima. Macron bersedia mengunjungi Rusia pada akhir musim panas jika kondisi sudah lebih membaik. Terkait situasi di Libya, Putin mengatakan mendukung penghentian segera permusuhan dan dimulainya kembali dialog intra-Libya.
“(Putin) menyerukan upaya konsolidasi internasional untuk menyelesaikan krisis dengan cara politik dan diplomatik,” kata Kremlin dikutip laman kantor berita Rusia TASS.
Macron dan Putin berada di posisi yang berseberangan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Macron dan Putin cenderung bersepaham dengan Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi.
Sama seperti Rusia, Mesir turut memberi dukungan pada LNA. Mesir sebelumnya sempat menawarkan dialog menyusul kian tertekannya Jenderal Haftar. Turki, yang berpihak pada Government of National Accord (GNA), yakni pemerintahan Libya yang diakui PBB, menolak seruan tersebut.
Turki menilai seruan itu merupakan upaya untuk menyelamatkan Haftar setelah serangkaian kekalahan di medan perang. Sudah lebih dari setahun LNA melancarkan serangan ke basis GNA di Tripoli.
Namun dengan bantuan Turki, GNA dapat memukul mundur dan menguasai kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai LNA, termasuk Tarhuna, benteng terakhir Haftar di Libya barat.
Macron tutupi kesalahan
Merespons situasi tersebut, Macron kemudian mengeluarkan pernyataan yang menyebut Turki memainkan permainan berbahaya di Libya. “Saya sudah memiliki kesempatan untuk mengatakan dengan sengat jelas kepada Presiden Erdogan. Saya menganggap hari ini Turki memainkan permainan berbahaya di Libya dan melanggar semua komitmen yang diambil selama konferensi Berlin,” ucapnya, dikutip Euronews.
Prancis memang memberi dukungan militer kepada Haftar untuk memerangi gerilyawan kelompok Islam. Namun ia membantah mendukung Haftar dalam konteks perang sipil di Libya. Prancis tak pernah mengkritik negara-negara yang mendukung LNA, tapi kerap menegur Turki.
Pada Jumat pekan lalu, Bloomberg menurunkan laporan berjudul “Turkey Has Eclipsed Emmanuel Macron’s Libya Dreams”. Dalam artikel itu Bloomberg mengungkapkan sikap sinis dan bermusuhan Macron terhadap Turki adalah untuk menutupi kegagalannya di Libya.
Bloomberg menyebut pernyataan Macron tentang Libya telah berubah dari hiperbola ke sesuatu yang mendekati histeria. Bloomberg turut mengkritik dukungan yang diberikan Macron terhadap Haftar. “Yang benar-benar dilakukan Macron adalah melegitimasi komandan pemberontak,” katanya.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu sempat merespons pernyataan Macron. Dia menilai Prancis memang memiliki tujuan memulihkan tatanan kolonial lama atas Libya. Cavusoglu menyebut justru Prancis yang memainkan permainan berbahaya dan melampaui batas di Libya.
Cavusoglu mengatakan dukungan Prancis terhadap Haftar bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. “Banyak negara telah menyaksikan permainan berbahaya Prancis di Libya. Banyak negara Eropa sudah mulai melihatnya,” ujarnya.
Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi tewas setelah digulingkan.
Sejak saat itu, kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara basis yang didukung PBB berada di Tripoli.