REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kini peran istri yang juga merangkap menjadi wanita karier bukanlah hal yang jarang ditemui, termasuk di Indonesia.
Biasanya terdapat tiga alasan yang membuat seorang istri mencari nafkah, yaitu ketidakmampuan suami untuk mencari nafkah, kurangnya penghasilan sang suami, atau faktor adat dan kebiasaan.
Dalam Islam, tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja atau mencari nafkah, namun bukan berarti posisi suami sebagai pencari nafkah utama lantas tergantikan.
Imam ad-Dusuqi (W 1230 H) menyebutkan, "Perempuan itu tak wajib menenun baju, menjahitnya lantas menjualnya agar mendapatkan upah, sehingga uang hasilnya diberikan kepada suami untuk nafkahnya. Karena hal itu bukanlah bentuk khidmat yang wajib bagi perempuan, tapi itu termasuk bekerja. Padahal perempuan tak wajib bekerja. Kecuali jika perempuan itu melakukannya dengan sukarela." (Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi al-Maliki (w. 1230 H), Hasyiyah ad-Dasuqi, (Baerut: Dar al-Fikr, 1414 H), juz 2, hal. 511.
Dalam buku Hukum Fiqih Seputar Nafkah bab Nafkah Perempuan Bekerja, yang ditulis Maharati Marfuah Lc, dijelaskan, terdapat beberapa perbedaan pendapat dari kalangan ulama terkait posisi istri yang merangkap sebagai pencari nafkah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban seorang istri hanya sebatas rumah, namun sebagian lainnya berpendapat bahwa istri memiliki kebebasan untuk bekerja di luar rumah.
Dalam bukunya, Maharati juga menyebutkan syarat-syarat diperbolehkannya seorang istri mencari nafkah.
1. Pekerjaan yang dilakukan memang memerlukan tenaga perempuan, seperti suster bagi pasien perempuan, pekerja salon khusus wanita dan lainnya
2. Suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga mengharuskan istri untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan rumah tangga
3. Pekerjaan yang dilakukan sang istri, tidak menggugurkan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga
4. Telah mendapat izin dari suami