REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika ada seorang Ustadz yang menentukan pilihannya dalam proses demokrasi, ada sebagain masyarakat yang menggap bahwa Ustadz tersebut sudah menjadi pemecah belah umat. Hal ini pun menjadi kegelisan Presiden Nusantara Foundation di Amerika Serikat, Ustadz Imam Shamsi Ali.
Dia pun meminta respons Ustadz Abdul Somad (UAS) terhadap penggunaan istilah ‘pemecah belah umat’ tersebut dalam acara bincang santai secara vitual bertema “Tantangan dan Peluang Dakwah: Indonesia dan US”.
Dalam menjawab pertanyaan itu, UAS menyampaikan bahwa ada orang yang memang ingin dirinya tidak memihak kepada siapapun dalam proses demokrasi. Bahkan, ada orang menginginkan dirinya menjadi seorang guru bangsa saja.
“Tapi saya pikir saya ada masanya bersikap, dan setiap dilihat itu ada risiko yang mesti saya ambil dan saya siap dengan segala risiko itu. Saya tidak takut, saya tidak sombong, tapi saya tidak menyalahkan sahabat-sahabat saya, ustadz yang memang mereka ada jalannya masing-masing sendiri,” ujar UAS, Ahad (5/7) malam.
UAS mengatakan, ada saatnya menjadi sahabat untuk semua orang dan saatnya menjadi teman bagi semua kelompok. Namun, menurut UAS, ada saatya juga untuk memilih. Jika pilihannya benar, maka UAS yakin Allah SWT telah memberikan kebaikan.
“Ada saatnya saya memilih. Andai saya benar di situ saya yakin Allah bawa kebaikan. Andai saya salah di situ, saya yakin Allah juga memaafkan salah saya,” ucapnya.
Setelah mendapat jawaban UAS, Ustadz Shamsi Ali pun menyimpulkan bahwa pada intinya memilih dalam konteks demokrasi itu bagian dari ijtihad dan hak sebagai warga negara. Oleh karena itu, menurut dia, seorang Ustadz yang menentukan pilihannya dalam proses demokrasi bukanlah pemecah belah umat.
“Oleh karena itu teman-teman kalau seseorang mengambil sikap, jangan dianggap itu memihak atau misalnya memakai kata-kata memecah belah umat. Karena itu hak individu sebagai warga negara dan hak sebagai manusia untuk memilih dalam hidup,” jelas Ustadz Shamsi Ali.