REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Juru bicara Biro Pendidikan Hong Kong merekomendasikan agar sekolah meninjau koleksi buku dan menghapus materi yang mungkin melanggar Undang-Undang (UU) Keamanan baru. Sekolah dinilai memainkan peran penting dalam memilih bahan ajar yang cocok dan sesuai untuk kondisi Hong Kong saat ini.
"Jika bahan ajar termasuk buku memiliki konten yang sudah usang atau melibatkan empat kejahatan di bawah hukum, kecuali jika mereka digunakan untuk secara positif mengajar siswa tentang kesadaran keamanan nasional mereka atau rasa menjaga keamanan nasional ... mereka seharusnya dikeluarkan dari sekolah," kata juru bicara Biro Pendidikan Hong Kong.
Pada akhir Juni, otoritas legislatif tertinggi China mengesahkan rancangan undang-undang tentang keamanan nasional di Hong Kong. Peraturan baru itu memfokuskan hukuman untuk tindakan subversi, separatisme, terorisme, dan kolusi dengan negara ketiga.
"Biro akan mengambil tindakan serius jika ada masalah yang muncul," kata juru bicara lembaga tersebut merujuk kepada penerapan UU yang telah membuka jalan bagi Beijing untuk mendirikan sebuah agen keamanan di Hong Kong dalam upaya mengawasi pelaksanaan ketentuan keamanan baru.
Peraturan kontroversial itu telah memicu gelombang baru protes di Hong Kong dan reaksi di luar negeri. Pemberlakukan UU itu akan berjalan selama 40 hari untuk peninjauan lanjutan oleh otoritas China.
Protes dari para aktivis lokal mengenai dampak negatif UU baru tersebut terhadap kebebasan sipil di wilayah administrasi khusus terus dilakukan. Meski begitu, Kepala Eksekutif Beijing dan Hong Kong, Carrie Lam, telah menekankan bahwa peraturan tersebut hanya bertujuan untuk menargetkan kegiatan subversif dan teroris tanpa merusak kebebasan demokrasi yang ada di negara tersebut.
Bahkan, beberapa negara global pun menentang penerapan peraturan tersebut, karena merusak Deklarasi Bersama 1984 antara Inggris dan China. Ketika itu Hong Kong diberikan kembali ke bawah pemerintahan Cihna pada 1997 sebagai wilayah administrasi khusus yang warganya akan menikmati kebebasan politik, ekonomi hingga 2047 di bawah konsep "satu negara, dua sistem".