Rabu 08 Jul 2020 16:12 WIB

LPPOM MUI Tanggapi Pernyataan Menag Soal Sertifikasi Halal

Menag menyatakan sejumlah jenis makanan yang tak perlu sertifikast halal.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
LPPOM MUI Tanggapi Pernyataan Menag Soal Sertifikasi Halal.Foto: Ilustrasi Sertifikasi Halal.
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
LPPOM MUI Tanggapi Pernyataan Menag Soal Sertifikasi Halal.Foto: Ilustrasi Sertifikasi Halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Osmena Gunawan menanggapi pernyataan Menteri Agama Fachrul Razi soal jenis makanan yang tidak memerlukan sertifikat halal. Menag menyebut di antaranya seperti dagangan buah-buahan dan pisang goreng.

"Untuk menentukan zero risiko itu dari mana? Siapa yang menentukan? Apakah kita semua mengetahui? Misalnya yang non-Muslim. Mereka makan babi, zero risiko, terus kalau mereka menyatakan halal itu bagaimana," kata Osmena kepada Republika.co.id.

Baca Juga

Dia mengatakan, kalau yang dijual hanya buah-buahan tentu bisa dikatakan halal. Tetapi ia mempertanyakan jika buah itu bercampur dengan yang lain. "Terus kalau pisang goreng, itu minyaknya kita tahu enggak minyaknya seperti apa," ujarnya.

Osmena mengistilahkannya dengan titik kritis. Menurutnya, suatu produk itu perlu diketahui apakah memang sama sekali tidak punya titik kritis. Untuk mengetahuinya maka dibutuhkan ahli di bidang tersebut.

"Nah yang menentukan itu kalau bukan orang ahlinya dari mana ketahuannya? Jadi (Menag) bicara (seperti) itu menurut saya boleh-boleh saja. Tetapi kan harus ada aturan, harus ada tata cara, harus ada pedoman, tidak semudah begitu saja," imbuhnya.

Untuk makanan seperti gorengan yang sering dikonsumsi masyarakat, Osmena mengatakan tidak bisa langsung dipastikan soal kehalalannya, sebab ada kemungkinan tidak halal. Dengan demikian, perlu diuji kembali khususnya pada minyak yang digunakan untuk menggoreng.

"Buat menggoreng itu kan menggunakan lemak atau minyak, nah itu bagaimana. Minyaknya minyak apa. Kan halal itu tidak sekadar halal, tetapi thoyyib juga. Kan sekarang banyak beredar minyak bekas, bekas menggoreng apa, kita kan enggak tahu," jelasnya.

Karena itu, Osmena mengakui, kondisi tersebut menuntut adanya aturan sertifikasi halal bagi kalangan Usaha Mikro Kecil (UMK). "Itulah perlunya undang-undang, perlunya PP (Peraturan Pemerintah), perlunya juklak (petunjuk pelaksanaan) dan lain sebagainya, itulah perlunya SOP (Standard Operating Procedure)," ungkapnya.

Adanya Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) pun menurut Osmena belum cukup. Sebab UU tersebut masih bersifat umum dan tidak mengatur teknis. PP yang menjadi aturan turunan dari UU JPH memang telah diterbitkan, yakni PP 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH. Namun, Osmena mengungkapkan, PP tersebut belum menggaambarkan bagaimana teknis pengerjaannya. "Belum membagi sub-subnya atau jenis jenis produknya," ungkap dia.

Menag Fachrul Razi menyampaikan ada beberapa jenis dagangan yang tidak perlu disertifikasi halal sehingga bisa langsung mendeklarasikan sendiri kehalalannya. Hal ini dia sampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR pada Selasa (7/7) kemarin.

Fachrul menjelaskan itu saat menyinggung Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur sertifikasi halal. "Sebetulnya ada yang tidak perlu menunggu RUU Cipta Kerja, yaitu yang self declaration, atau deklarasi mandiri, untuk yang berisiko rendah dan juga zero risiko," ujar dia.

Contoh yang nol risiko itu, kata Fachrul, adalah penjual buah-buahan karena menurutnya tidak ada risiko apa-apa dalam dagangan tersebut. "Dia bisa mendeklarasikan langsung dia halal. Atau, yang risikonya rendah, sebagai contoh pisang goreng, minyaknya sudah jelas halal, pisangnya halal, maka dia bisa mendeklarasikan langsung bahwa dia tidak berisiko," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement