REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tawuran antar kelompok remaja maupun pemuda, kerap terjadi di Jakarta lantaran saling ejek melalui media sosial. Baru-baru ini, dua kelompok remaja terlibat tawuran di Jalan Daan Mogot, Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Daisy Indira mengatakan, aksi tawuran telah menjadi bagian subkultur di wilayah perkotaan. Sehingga, aksi tersebut dianggap sebagai semacam hiburan bagi kelompok remaja maupun pemuda.
"Enggak semua sih, tapi sebagian kelompok itu memang jadinya melihat tawuran ini semacam ritual dan kemudian juga bahkan semacam hiburan juga buat mereka," kata Daisy saat dihubungi, Rabu (8/7).
Dia menuturkan, saat ini banyak kaum muda yang berinteraksi melalui media sosial. Menurut Daisy, ada berbagai macam pemicu terjadinya tawuran tersebut. Mulai dari saling ejek lewat media sosial yang menimbulkan emosi, hingga akhirnya terjadi tawuran.
Selain itu, sambung dia, budaya kekerasan juga sebenarnya secara tidak langsung tersosialisasikan justru lewat institusi pendidikan. "Itu juga bisa mungkin terjadi. Karena di dalam pendidikan kita masih punya sistem senioritas. Kemudian kita masih punya budaya juga junior tunduk pada senior dan berbagai macam. Walaupun dalam beberapa tahun belakang coba untuk dihapuskan di sekolah," ujar dia.
Pemicu lainnya, kata Daisy, para kaum muda kekurangan alternatif kegiatan yang bisa diikuti atau kurangnya alternatif saluran-saluran kompetisi yang mereka bisa nikmati. Dia menjelaskan, dalam usia remaja dan pemuda merupakan masa pencarian jati diri dan memiliki jiwa kompetisi yang tinggi. Sehingga memiliki kemauan berkompetisi untuk saling menunjukan jati diri masing-masing.
Namun, Daisy menyebut, ruang ekspresi bagi kaum muda masih sangat terbatas dan mungkin tidak dapat diakses oleh seluruh kalangan. Dia mencontohkan, standar pendidikan di Indonesia cenderung selalu mengedepankan prestasi nilai-nilai di sekolah.
Dia mengatakan, bagi kaum muda yang tidak mampu mencapai hal tersebut maupun tidak bisa menggunakannya sebagai ruang ekspresi, akhirnya tersingkirkan dan mencari alternatif lain.
"Itu yang sebenarnya harusnya diciptakan dari kaum muda kita. Jadi ruang-ruang ekspresinya enggak hanya prestasi di sekolah dalam hal pelajaran, tapi harusnya dalam hal hobi, kegiatan olahraga, musik, seni, dan lain sebagainya, itu harus sama-sama menjadi satu hal yang kita hargai," paparnya.
Di sisi lain, Daisy menilai, faktor keluarga atau internal masing-masing kaum muda juga memengaruhi untuk terlibat dalam aksi tawuran. Misalnya, kurang bahagia dan kurang perhatian di dalam masing-masing keluarga.
Namun, dia menegaskan, faktor yang paling memengaruhi seseorang terlibat aksi tawuran adalah dari pergaulan. Daisy mengungkapkan, seorang anak yang tadinya baik-baik saja dapat ikut terlibat tawuran lantaran terpengaruh teman-temannya.
"Kalau mereka teman-temannya seperti itu bisa ikutan. Karena kan tawuran itu dilakukan bukan one by one, tapi ramai-ramai. Berarti geng pertemanan itu sangat berperan," jelas Daisy.
Dia menambahkan, untuk memberikan efek jera kepada para remaja maupun pemuda yang terlibat tawuran harus diberi sanksi sosial dan tindakan hukum yang tegas. Terutama jika tawuran tersebut menggunakan senjata tertentu hingga menimbulkan kerusakan dan korban jiwa.
Meski demikian, menurut Daisy, sanksi hukum cukup sulit diberikan. "Karena itu dilakukan oleh beramai-ramai dan biasanya sangat kabur siapa otaknya, siapa yang provokator, siapa yang hanya ikut-ikutan, itu jadi sangat sulit pembuktiannya," ungkapnya.
Oleh karena itu, Daisy mengatakan, peran dan perharian dari lingkungan sekitar sangat diperlukan. Terutama untuk menanamkan nilai-nilai bahwa kekerasan menimbulkan kerugian bagi banyak pihak.
Tidak hanya itu, untuk mencegah terjadinya aksi tawuran, diperlukan ruang atau berbagai kegiatan di lingkungan pemukiman.
"Sehingga kompetisi itu tersalurkan. Misalnya, mau berkompetisi kelompok pemuda A dengan pemuda B antar RW, enggak ada masalah. Tapi kompetisinya yang sportif dan itu ruangnya memang ada," tutur dia.
Hal ini, kata dia, dapat menimbulkan solidaritas di antara para remaja dan pemuda. Terutama bagi mereka yang tinggal di pemukiman padat penduduk dan ruang geraknya terbatas.
Sebelumnya, Polsek Tanjung Duren Jakarta Barat menangkap enam orang yang terlibat tawuran di Jalan Daan Mogot Raya, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Ahad (5/7) sekitar pukul 04.30 WIB. Akibat aksi itu, sejumlah remaja mengalami luka-luka.
Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Audie S Latuheru mengatakan, dua kelompok remaja yang terlibat tawuran itu, yakni kelompok Romusha dan kelompok Pesing. Aksi itu bermula dari adanya ajakan tawuran melalui media sosial Instagram.
"Kelompok Romusha mendatangi satu geng lain yang disebut mereka ini Geng Pesing. Mereka terlibat tawuran menggunakan senjata tajam berupa celurit dan golok yang di desain khusus untuk tawuran atau melakukan penganiayaan," kata Audie dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/7).
Adapun enam remaja yang diringkus itu masing-masing berinisial RR (23 tahun), BO (17), MAS (15), BAS (16), UF (17), dan AH (30). Kemudian, sambung Audie, saat tawuran terjadi seorang pelaku berinisial MAS mengalami luka bacok di bagian pinggang akibat sabetan celurit dari kelompok Romusha.
Tidak terima dengan hal itu, Kelompok Pesing pun melakukan aksi balasan. Mereka menganiaya salah satu anggota kelompok Romusha, yakni R (19) hingga mengalami luka cukup parah.
"Korban mengalami luka bacokan berulang kali di tangan kepalanya, sehingga dilarikan ke RSCM," papar Audie.
Dari tangan para tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti. Di antaranya, celurit, pedang dan golok yang sudah dimodifikasi.
Atas perbuatannya, para tersangka yang telah berusia dewasa dikenakan Pasal 170 KUHP. Sedangkan tersangka yang masih di bawah umur akan diberikan perlakuan khusus.