REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, empat institusi akan bahu-membahu dalam melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra. Menurut dia, negara akan malu jika dipermainkan oleh buronan kelas kakap tersebut.
"Karena bagaimana pun malu negara ini kalau dipermainkan oleh Joko Tjandra. Kepolisian kita yang hebat masak ndak bisa nangkap, kejagung yang hebat seperti itu masak ndak bisa nangkap," ujar Mahfud usai menggelar pertemuan bersama pihak terkait di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (8/7) malam.
Mahfud menuturkan, setelah berbicara dengan para ahli ia menilai semestinya pengejaran terhadap Joko Tjandra merupakan persoalan sepele bagi Polri dan Kejakgung. Menurutnya, seharusnya aparat penegak hukum dapat dengan mudah mengendus keberadaannya. Karena itu, kata dia, akan keterlaluan jika Polri maupun Kejakgung tak bisa melakukannya.
Ia mengundang empat institusi terkait untuk membahas perihal pemburuan terhadap Djoko Tjandra. Keempat institusi itu, yakni Kejaksaan Agung (Kejakgung), Polri, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kantor Staf Presiden (KSP).
"Kita optimis nanti cepat atau lambat akan kita tangkap, optimis. Dan tadi semua institusi, Kejagung, Polri, bertekad untuk mencari dan menangkapnya. Baik secara bersama-sama maupun menurut kewenangannya masing-masing siapa yang menangkap duluan begitu," jelas dia.
Dia mengungkapkan, Polri dan Kejakgung akan terus bekerja keras untuk mengejar dan melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra. Sementara itu, Kemenkumhan dan Kemendagri akan membantu dengan dokumen-dokumen keimigrasian serta kependudukan yang dimiliki. Sedangkan pihak istana, melalui KSP, siap membantu di sisi instrumen administrasi jika diperlukan.
"Sedangkan di Istana, KSP, kalau perlu instrumen-instrumen adminitrasi yang diperlukan dari pemerintah (akan membantu)," katanya.
Djoko Tjandra pada 8 Juni 2020 telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggunakan KTP DKI Jakarta. Djoko Tjandra telah kabur dari Indonesia sejak 2009 dan telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga negaraPapuan Nugini.
Sebelumnya Djoko pada Agustus 2000 didakwa oleh JPU Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus cessie Bank Bali. Namun, majelis hakim memutuskan Djoko lepas dari segala tuntutan karena perbuatannya tersebut bukanlah perbuatan tindak pidana melainkan perdata.
Kejaksaan Agung pada Oktober 2008 kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut. Pada Juni 2009, Mahkamah Agung menerima Peninjauan Kembali yang diajukan dan menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Djoko, selain denda Rp15 juta.
Namun, Djoko mangkir dari pengadilan untuk dieksekusi sehingga kemudian yang bersangkutan dinyatakan sebagai buron dan diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini.