REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A. Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Banyak orang berpandangan normal baru adalah perubahan perilaku menghindari penularan Covid-19. Pemahaman ini tidak salah sepenuhnya, jika menyangkut kondisi saat ini. Namun, dibutuhkan pemahaman lebih luas guna menjangkau masa yang lebih panjang. Sebab, masih belum jelas kapan pandemi Covid-19 ini mencapai ujung.
Maka, normal baru desa lebih tepat dipahami sebagai perubahan paradigma berpikir, perubahan sikap dan perilaku warga guna memperkuat ketahanan sosial, ekonomi, dan budaya. Mungkin di kota yang kosmopolit tidak terlalu terasa, namun di desa inilah waktu yang tepat untuk merevitalisasi budaya serta partisipasi warga dalam pembangunan.
Revitalisasi Budaya
Budaya desa masa silam sesungguhnya dapat berfungsi sebagai tameng menghadang pandemi Covid-19. Di depan rumah-rumah desa di Jawa ditemui padasan, berupa gentong air untuk mencuci tangan, kaki dan muka sebelum melangkah ke rumah. Warga desa-desa Bugis menyebutnya gumbang, bempa atau padasang.
Tak hanya pemilik rumah, tamu dan orang yang sedang lewat pun halal memanfaatkannya, sehingga lingkungan permukiman senantiasa bersih.
Memang, dalam kepercayaan nenek moyang, kebiasaan mencuci tangan dan kaki itu bertujuan melepas “sawan” agar tidak terbawa ke dalam rumah.
Sawan sendiri dikaitkan dengan sakit mendadak yang tidak diketahui sebab musababnya. Barangkali saat itu ilmu pengetahuan belum bisa menjelaskan fenomena “sawan”. Hari ini, Covid-19 adalah wujud nyata dari “sawan”.
Di Bali, pecalang atau petugas keamanan adat berperan sebagai ujung tombak pengawasan penerapan protokol kesehatan. Bersama petugas keamanan formal, pecalang melakukan patroli memastikan lingkungan desa tetap sehat. Saat menemukan warga yang tidak mematuhi protokol, pecalang langsung menjatuhkan sanksi sosial berupa kewajiban membersihkan wiayah permukiman.
Protokol Normal Baru
Karena desa telah memiliki budaya kebersihan dan kedisiplinan lokal, protokol normal baru desa mesti memperhatikan kewaskitaan desa. Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No 63/2020 memuat protokol tersebut. Tujuannya, mewujudkan masyarakat desa yang produktif dan aman dari penularan Covid-19. Harapannya, agar tercipta tata kelola desa dalam pencegahan penularan COVID-19 melalui adaptasi pola hidup bermasyarakat dalam tatanan normal baru.
Hal-hal umum yang harus dilakukan pemerintah desa meliputi membersihkan fasilitas umum dengan desinfektan secara rutin, menyediakan tempat cuci tangan di tempat umum, menyiapkan pos kesehatan atau ruang isolasi untuk penanganan warga yang mengalami gangguan kesehatan, meningkatkan kesadaran warga dalam berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Sementara itu, warga desa harus berdisiplin agar tidak keluar rumah saat sakit, selalu menggunakan masker, menjaga jarak fisik minimal satu meter, serta sering mencuci tangan dengan sabun. Item-item yang lebih rinci termuat dalam protokol penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik, kegiatan sosial keagamaan dan hajatan, kegiatan ibadah, pasar desa, kegiatan padat karya tunai desa, dan kegiatan di tempat wisata.
Desa sendiri berhak memodifikasi sesuai kondisi lokal, dengan menambahkan poin sesuai tradisi setempat. Desa harus menempelkan protokol normal baru desa di sudut-sudut ruang publik. Penting pula, desa menetapkannya secara formal ke dalam peraturan desa.