REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Mujiyono menilai, munculnya ribuan kasus baru positif Covid-19 sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi di Ibu Kota karena adanya pemahaman keliru oleh masyarakat terhadap normal baru. Masyarakat kebablasan dan tidak disiplin.
"Ini masyarakat kebablasan tidak berdisiplin dalam penerapan protokol kesehatan. Saya kira, anggapan normal baru di benak masyarakat selama ini keliru. Mereka menganggap, PSBB transisi ini kembali ke keadaan seperti sedia kala, seperti sebelum pandemi Covid-19 terjadi, padahal bukan," kata Mujiyono di Jakarta, Senin.
Akibatnya, lanjut dia, masyarakat secara umum cenderung abai terhadap protokol kesehatan yang terus digemborkan pemerintah. Menurut Mujiyono, pelonggaran PSBB harus tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan.
"Normal baru itu bukan normal. Tapi kondisi kehati-hatian dalam masa pendemi, selama vaksin belum ditemukan. Ini diterapkan untuk pergerakan ekonomi. Kalau ekonomi aman, bisa saja kemarin pemerintah menerapkan lock down seperti Singapura," kata politisi Partai Demokrat itu.
Namun, kata dia, di Singapura meski ekonomi tidak bergerak selama tiga bulan tak menyebabkan keuangan negara itu kolaps.
"Lain halnya dengan Indonesia, saat PSBB diterapkan kondisi keuangan negara langsung terkontraksi. Itu yang harus disadari," ujar dia.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membeberkan kasus Covid-19 di Ibu Kota selama masa PSBB transisi mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Sejak PSBB transisi dimulai dari 4 Juni dan sampai hari Ahad (12/7) ini, tercatat ada 6.748 kasus baru COVID-19.
"Memang itu karena kita aktif melakukan pelacakan dan selama ini (ada) tambah kasusnya tapi tingkat rata-rata kasus positif masih di bawah lima persen," kata Anies melalui siaran YouTube Pemprov DKI Jakarta pada Minggu (12/7).
Hal itu dikatakan Anies untuk mengklarifikasi lonjakan kasus Covid-19 harian di Jakarta yang menembus 404 orang pada Ahad (12/7). Kemudian, tingkat rata-rata kasus positif dari pengecekan PCR saat ini mencapai 10,5 persen, padahal WHO memiliki standar lima persen.
"Artinya, meskipun ditemukan (kasus baru) sebutlah 200 orang, tapi 200 orang dari 4.000 tes maka hasilnya hanya lima persen. Berbeda dengan 200 orang dari 1.000 tes, maka hasilnya 20 persen," ujar Anies.
Menurutnya sejak 4 Juni sampai 12 Juli klaster Covid-19 terbesar adalah pasien rumah sakit. Kisarannya adalah 45,26 persen dari total kasus Covid-19 yang mencapai 14.361 orang saat ini.
Kemudian yang kedua adalah pasien di komunitas masyarakat sekitar 38 persen. Lalu di pasar sekitar 6,8 persen. Selanjutnya dari migran Indonesia 5,8 persen dan sisanya dari perkantoran.
"Saya ingatkan kepada semua 66 persen dari yang kita temukan adalah orang tanpa gejala (OTG). Dia tidak sadar bahwa sudah terekspose (terkena Covid-19). Kalau saja mereka tidak kami datangi untuk melakukan testing, barangkali yang bersangkutan tidak pernah merasa positif. Dia membawa virus Covid-19," ujarnya.
Karena itulah, kata Anies, masyarakat harus waspada terhadap penularan Corona. Diperlukan kesadaran diri untuk saling menjaga jarak antarpribadi masyarakat dan menghindari kerumunan.
Beda halnya bila yang positif Covid-19 mengalami gejala sakit seperti batuk, demam, dan flu sampai mereka datang ke rumah sakit. "Jadi saya ingin mengingatkan kepada semua warga Jakarta harus ekstra hati-hati, jangan anggap enteng dan jangan merasa kita sudah bebas dari Covid-19," ujarnya.
Sebelumnya, kasus harian Covid-19 di Jakarta pada Ahad (12/7) berada di angka tertinggi mencapai 404 orang. Secara akumulasi, kasus Covid-19 di Jakarta mencapai 14.361 orang. Dari jumlah tersebut, 9.200 orang dinyatakan telah sembuh, sedangkan 702 orang meninggal dunia.
Kemudian 554 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit dan 3.905 orang melakukan isolasi mandiri di rumah