REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan pesepak bola nasional Bambang Pamungkas turut mendukung revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Revisi itu yang diyakini dapat memperbaiki nasib para atlet profesional di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Bambang Pamungkas dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) secara virtual bersama Komisi X DPR RI dan pakar olahraga serta atlet olahraga, Senin.
“Hal-hal yang paling penting bagi atlet yang utama adalah status profesi. Di sini dalam Pasal 55 UU SKN memang sudah diatur dengan baik bahwa atlet profesional adalah atlet yang menjalankan kegiatan olahraga sebagai suatu profesi,” kata pria yang karib disapa Bepe itu.
Namun menurut Bambang, fakta di lapangan justru tak begitu. Pemberian status profesi atlet masih belum dianggap di dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Dengan demikian, atlet saat ini masih dianggap sebagai kegiatan menyalurkan hobi ketimbang sebuah pekerjaan profesional.
Kondisi tersebut menurutnya akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa saat terjadi konflik di antara atlet dengan klub atau federasinya.
“Sehingga ketika terjadi konflik antara atlet dengan klub atau federasinya tidak bisa dibawa ke ranah (aturan) tenaga kerja,” ujarnya.
Tak hanya itu, mantan pemain Persija Jakarta itu juga mengatakan bahwa UU SKN perlu direvisi karena belum mencakup bahasan soal serikat pekerja sebagai atlet.
Saat ini, hanya sepak bola yang sudah mempunyai asosiasi pekerja resmi dan diakui PSSI, yakni Asosiasi Pesepak bola Profesional Indonesia (APPI). Sementara ia melihat serikat yang serupa belum ada di cabang olahraga lain.
Padahal asosiasi tersebut dinilai sangat membantu dalam hal memperjuangkan hak-hak atlet, tidak hanya hak ekonomi, tetapi juga hak mengeluarkan pendapat dan mengambil sikap.
Selanjutnya, poin ketiga yang disampaikan adalah kepastian hukum bagi atlet. Ia mengatakan bahwa dengan adanya dua badan arbitrase olahraga saat ini, yaitu BAKI dan BAORI justru membuat kepastian hukum bagi atlet menjadi tidak jelas, bahkan tak jarang memberatkan.
“Badan arbitrase ini tidak mewakili atlet dengan baik. Untuk mendaftarkan kasus di BAKI minimal perlu uang Rp50 juta. Itu terlihat di situs mereka. Artinya permasalahan atlet ini cukup memberatkan. Ini arbitrase berbiaya,”
“Ke depan kita berharap badan ini disatukan entah apa namanya,” tutur Bambang.