REPUBLIKA.CO.ID, MANCHESTER -- Kemenangan Manchester City di Pengadilan Arbitrase untuk Olahraga (CAS) telah menyedot perhatian pecinta sepak bola dunia. City dinyatakan tidak bersalah oleh CAS dan terbebas dari pelanggaran Financial Fair Play (FFP) yang divonis oleh Badan Pengawas Finansial Klub (CFCB) dari otoritas sepak bola Eropa, UEFA, pada Februari lalu.
Kala itu, City dihukum oleh UEFA berupa sanksi larangan tampil selama dua tahun di kompetisi Eropa serta denda 10 juta euro. Pada saat itu, UEFA mengklaim pihak City telah melakukan manipulasi laporan neraca keuangan klub. Hasil temuan pihak UEFA, pihak City dinilai telah melebihkan pendapatan sponsor dalam keuangannya sepanjang rentang waktu antara 2012-2016,
Lantas ‘makhluk’ semacam apakah FFP itu? Mengapa ia bisa menjadi batu sandungan bagi klub Eropa dalam berkompetisi di lapangan hijau? Menilik sejarahnya, FFP ini dibuat UEFA pada 2010. Setelah itu, aturan FFP ini diuji selama tiga tahun dan kemudian resmi diterapkan pada musim 2013/14.
Lalu, apa yang membuat UEFA kemudian memproduksi aturan tersebut? Dikutip dari laman resmi UEFA, berdasarkan pengamatan badan tertinggi sepak bola Eropa itu, paling tidak ada 655 klub Benua Biru itu yang mengalami kerugian pada tahun 2009 ke belakang.
Hanya sebagian kecil dari mereka yang terhindar dari kerugian besar tiap tahunnya, itu pun berkat kekayaan dari pemilik klub-klub tersebut. Paling tidak, 20 persen klub berada pada kondisi keuangan yang berbahaya.
Bahkan setelah 2009, beberapa klub besar masih mengalami kerugian. Chelsea mengumumkan kerugian sebesar 49,4 juta pound pada akhir Juni 2013. Pada tahun yang sama, Liverpool juga menderita kerugian 49,8 juta pound, bahkan 10 bulan sebelumnya the Reds sudah rugi 40,5 juta pound.
Karena itulah, pengembangan, pengenalan, dan evolusi berkelanjutan dari FFP tetap menjadi salah satu proyek UEFA yang paling ambisius, namun terbukti sukses. Singkatnya, UEFA menyadari dalam industri sepak bola modern, perlu ada governance atau tata kelola terhadap manajemen klub. Semangat ini juga selaras untuk mendorong terwujudnya pengelolaan secara transparan dan bertanggungjawab untuk menggapai perubahan yang lebih baik.
Dalam lima tahun pertama setelah diperkenalkan pada 2009, kerugian klub dan utang klub klub Eropa yang tertunggak telah menurun hingga kurang dari 20 persen dari level sebelum diberlakukannya peraturan tersebut.
Bahkan, pundi-pundi keuangan klub di semua kompetisi Eropa mengalami peningkatan semenjak diberlakukannya aturan FFP ini. Utang bersih terhadap pendapatan turun drastis dari 65 persen menjadi 35 persen. Fakta inilah yang kemudian dapat menjawab banyak kritik yang menganggap proyek ini terlalu ambisius dan menantang untuk diimplementasikan.
''Persetujuan (aturan) ini adalah awal untuk perjalanan penting bagi keuangan klub sepak bola Eropa, dimana kami mulai meletakan stabilitas dan keuangan yang masuk akal ke dalam sepak bola,'' kata Presiden UEFA kala itu, Michel Platini, saat mengumumkan aturan FFP.
Lantas, apakah hanya City saja yang pernah kena batu sandungan aturan FFP ini? AC Milan ternyata pernah dilarang tampil di kompetisi Eropa, setelah dianggap UEFA melanggar aturan FFP.
Saat itu, UEFA menilai Milan gagal menyeimbangkan neraca keuangannya setelah menghabiskan 200 juta pound untuk membeli pemain pada musim panas 2017. Padahal, musim itu Milan lolos ke Liga Europa setelah finis di posisi keenam.
UEFA kemudian melarang Milan ikut kompetisi mereka selama satu tahun. Namun, klub Seri A itu terbebas dari sanksi setelah banding di Pengadilan Arbitrese untuk Olahraga (CAS) dikabulkan.
Klub lain yang juga terhindar dari sanksi UEFA karena diduga melanggar aturan FFP adalah Paris Saint-Germain (PSG). Kasusnya serupa seperti yang dialami City. Namun, klub tajir asal Prancis itu menang banding di CAS, bahkan sebelum UEFA mengeluarkan putusan.